Senin, 08 Januari 2018

Islamisasi Makanan



Mukhammad Muti’ur Ridho (Ushuluddin Semestester 5B)

Judul Buku      :Indahnya Fiqih Praktis Makanan
Penulis             : Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi dan Abu Abdillah Syahrul Fatwa
Penerbit            : Pustaka Al Furqan
Cetakan           : Pertama, Sya'ban 1429 H
Halaman          : vi+99
Judul Resensi   : Islamisasi Makanan

Makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi orang yang memakannya. Makanan yang halal dan bersih akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sedangkan makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani.

Buku ini adalah buku yang perlu dan penting dibaca oleh kaum muslimin. Karena memuat kaidah kaidah praktis tentang makanan yang halal dan makanan yang haram. Sehingga kaum muslimin dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Dua hal yang menarik perhatian saya dari buku ini. Yang pertama adalah memuat kaidah praktis (yang mudah kita terapkan) tentang makanan yang halal dan makanan yang haram. Dan yang kedua adalah buku ini memuat daftar binatang yang halal dan binatang yang haram.

Pada ringkasan ini saya kutipkan sebagian isi dari buku tersebut dari pasal-pasal yang paling menarik untuk disimak. Semua pasalnya memang menarik, tetapi hanya saya kutipkan sebagiannya saja, dan itu pun dengan meringkasnya. Footnote tidak saya sertakan hanya dimana perlu saja.

[Makanan Pada Asalnya Halal]
------------------------------------
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah merahmatimu- bahwa asal hukum segala jenis makanan, baik dari hewan, tumbuhan, laut, maupun daratan adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):

"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (QS. al Baqarah: 29).

Allah juga berfirman (yang artinya):
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi..." (QS. al Baqarah: 168).

Imam Syafi'i berkata, "Asal hukum makanan dan minuman adalah halal kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dalam al Qur'an-Nya atau melalui lisan Rasulullah, karena apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama halnya dengan pengharaman Allah." (al Umm 2/213).

Tidak boleh bagi seorang pun mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari al-Qur'an dan hadits yang shohih. Apabila seseorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. Firman Nya (yang artinya):

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta: 'Ini halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An Nahl: 116).

[Makanan Haram Dalam Al Qur'an]
---------------------------
Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merincinya dalam al Qur'an. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah merincinya secara detail dalam al Qur'an atau melalui lisan Rosul Nya yang mulia. Allah berfirman (yang artinya) :

"Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan Nya atasmu, kecuali yang terpaksa kamu memakannya." (QS. al An'am: 119).

Perincian penjelasan tentang makanan haram dapat kita temukan dalam surat al Maidah ayat 3 sebagai berikut:

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya..." (QS. al Maidah: 3).

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram, yaitu:

1. Bangkai
Pengecualian: yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits :

Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu berkata, "Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan dua darah yaitu hati dan limpa." (Shohih. Diriwayatkan Imam Ahmad 2/97, dishohihkan oleh al Albani dalam ash Shohihah 1118 dan al Misykah 4132).

Rasulullah juga pernah ditanya tentang air lau, maka beliau bersabda:

"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (Shohih. Lihat Irwaul Gholil 9 dan ash Shohihah 480 oleh al Albani).

2. Darah
Pengecualian:
- hati dan limpa
- sisa sisa darah yang menempel pada daging, tulang, atau leher setelah disembelih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satu pun dari kalangan ulama yang mengharamkannya."

3. Daging babi
Baik babi peliharaan maupun liar, dan mencakup seluruh anggota tubuh babi termasuk minyaknya.

4. Sembelihan dengan selain nama Allah Subhanahu wa Ta'ala
5. Sembelihan untuk selain Allah
6. Hewan yang diterkam binatang buas

[Makanan Haram Dalam As Sunnah]
---------------------------
Sesungguhnya sunnah Nabi shallallahu'alaihi wa sallam yang shohih adalah juga wahyu dari Allah. Oleh karenanya, apa yang diharamkan oleh Rosulullah juga berasal dari Allah, yang konsekuensinya wajib bagi kita untuk menerimanya. Berikut beberapa hewan yang diharamkan oleh Rasulullah di dalam hadits haditsnya:

1. Binatang buas yang bertaring
2. Khimar ahliyah (keledai jinak)
3. al Jalalah
Maksud al jalalah yaitu setiap hewan, baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua, yang makanan pokoknya adalah kotoran kotoran, seperti manusia atau hewan, dan sejenisnya.

4. Adh Dhob (hewan sejenis biawak) bagi yang merasa jijik

5. Hewan yang diperintahkan agama supaya dibunuh
Dari Aisyah radhiyallahu'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu ular, gagak, tikus, anjing hitam." (HR. Muslim 1190).

Imam Ibnu Hazm mengatakan dalam al Muhalla (6/73-74), "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh, maka tidak ada sembelihan baginya karena Rasulullah melarang menyia nyiakan harta, dan tidak halal membunuh binatang yang tidak dimakan."

6. Hewan yang dilarang untuk dibunuh
Imam Syafi'i dan para shahabatnya mengatakan, "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya."

Ibnu Umar radhiyallahu'anhu berkata, "Janganlah kalian membunuh katak, karena bunyi yang dikeluarkan katak adalah merupakan tasbih." (HR. al Baihaqi dalam Sunan Kubro (9/318) dengan sanad shohih).

[Hukum Binatang Yang Hidup Di Dua Alam]
---------------------------------------
Ada sebuah pertanyaan yang sering muncul sebagai berikut, "Adakah ayat al Qur'an atau hadits shahih yang menyatakan bahwa binatang yang hidup di dua alam hukumnya haram untuk dimakan, seperti kepiting, kura kura, anjing laut, dan kodok?"

Jawaban secara global: perlu kita ingat lagi kaidah penting tentang makanan, yaitu asal segala jenis makanan adalah halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya. Dan sepanjang pengetahuan kami tidak ada dalil dari al Qur'an dan hadits shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian maka asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Adapun jawaban secara terperinci: kepiting hukumnya halal, sebagaimana pendapat Atho' dan Imam Ahmad. Kura kura atau penyu juga halal sebagaimana madzhab Abu Hurairah, Thowus, Muhammad bin Ali, Atho', Hasan al Bashri, dan fuqaha Madinah. Anjing laut juga halal sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Sya'bi, dan al Auza'i. Adapun kodok atau katak, maka hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang kuat karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu'alam.

[Personal View]
---------------
Makanan mempunyai pengaruh yang besar bagi orang yang memakannya. Maka dari itu pilah pilih mana makanan yang halal dan mana makanan yang haram. Buku ini memberikan panduan yang praktis dan mudah diterapkan bagi kita. Termasuk masalah masalah aktual seperti pemboikotan produk orang kafir, makanan impor dari negeri kafir, dll.

Memang harus berhati hati agar diri kita tidak memakan makanan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Makanan yang haram jelas akan membuat tertolaknya doa kita. Sebagiamana dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam:

"Kemudian beliau menceritakan seorang laki laki yang telah menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan penuh dengan debu. Dia menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, 'Wahai Rabbku, Wahai Rabbku...' sedangkan makanannya haram, pakaiannya haram dan ia dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?" (HR. Muslim, lihat Arbain an Nawawiyah hadits no. 10).

Amboi, kita memang harus benar benar menuntut ilmu, agar mengetahui mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan oleh agama Islam.


Demikian semoga bermanfaat.

Asababun Nuzul (QS. al-Maidah [5]: 93)




Ayat dan Terjemah
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. al-Maidah [5]: 93).

Asbabun Nuzul
Shahih Bukhori
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ الْخَمْرَ الَّتِي أُهْرِيقَتْ الْفَضِيخُ وَزَادَنِي مُحَمَّدٌ الْبِيكَنْدِيُّ عَنْ أَبِي النُّعْمَانِ قَالَ
كُنْتُ سَاقِيَ الْقَوْمِ فِي مَنْزِلِ أَبِي طَلْحَةَ فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَانْظُرْ مَا هَذَا الصَّوْتُ قَالَ فَخَرَجْتُ فَقُلْتُ هَذَا مُنَادٍ يُنَادِي أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ لِي اذْهَبْ فَأَهْرِقْهَا قَالَ فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ قَالَ وَكَانَتْ خَمْرُهُمْ يَوْمَئِذٍ الْفَضِيخَ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ قُتِلَ قَوْمٌ وَهْيَ فِي بُطُونِهِمْ قَالَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
{ لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا }[1]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid Telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa Khamr adalah yang dihasilkan dengan membakar buah kurma. Muhammad al-Bikandi menambahkan dari Abu Nu'man dia berkata; Aku adalah orang yang member minum di rumah Abu Thalhah. Lalu turunlah ayat yang mengharamkan Khamr, kemudian disuruhlah seseorang mengumumkannya. Abu Thalhah berkata; keluarlah dan dengarkanlah suara itu. Abu Nu'man berkata; Aku pun keluar lalu ku katakana; 'Orang itu menyerukan bahwa Khamr telah diharamkan. Abu Thalhah berkata kepadaku; pergilah dan bakarlah khamrnya. Anas berkata; Maka kabar ini menyebar hingga ke gang-gang Madinah. Anas bin Malik ra. berkata; arak mereka pada waktu itu adalah terbuat dari fadlikh (minuman yang terbuat dari busr), busr (kurma yang masih muda). Sebagian kaum berkata; sebagian kaum telah telah meninggal sedang arak telah telanjur masuk perut mereka. Anas bin Malik ra. berkata; maka Allah  menurunkan "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu...” (QS. al-Maidah [5]: 93).

Shahih Muslim
3 - (1980) حَدَّثَنِي أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ، أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كُنْتُ سَاقِيَ الْقَوْمِ يَوْمَ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ فِي بَيْتِ أَبِي طَلْحَةَ، وَمَا شَرَابُهُمْ إِلَّا الْفَضِيخُ: الْبُسْرُ وَالتَّمْرُ، فَإِذَا مُنَادٍ يُنَادِي، فَقَالَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ، فَخَرَجْتُ، فَإِذَا مُنَادٍ يُنَادِي: «أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ»، قَالَ: فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ، فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اخْرُجْ فَاهْرِقْهَا، فَهَرَقْتُهَا، فَقَالُوا - أَوْ قَالَ بَعْضُهُمْ: - قُتِلَ فُلَانٌ، قُتِلَ فُلَانٌ، وَهِيَ فِي بُطُونِهِمْ، - قَالَ: فَلَا أَدْرِي هُوَ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ -، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ} [المائدة: 93][2]

 “Telah menceritakan kepadaku Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Daud al-'Ataki telah menceritakan kepada kami Hammad -yaitu Ibnu Zaid- telah mengabarkan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata, "Saya pernah menuangkan khamer kepada sekelompok kaum di rumah Abu Thalhah ketika khamer diharamkan, dan saat itu mereka tidak minum kecuali dari Fadlih (minuman keras yang terbuat dari perasan kurma), kurma muda dan kurma masak. Tiba-tiba ada seseorang yang berseru, lantas Abu Thalhah berkata, "Keluarlah dan lihatlah apa yang terjadi." Ternyata seseorang berseru, katanya, "Tidakkah khamer telah diharamkan." Anas berkata, "Kemudian berita itu tersebar ke seluruh Kota Madinah, lantas Abu Thalhah berkata kepadaku, "Keluar dan baunglah." Maka saya langsung menumpahkannya. Saat itu orang-orang berkata, atau sebagian dari mereka berkata, "Seseorang telah meninggal, sedangkan khamer tersebut masih dalam perut mereka." -Tsabit berkata; "Namun saya tidak mengetahui apakah itu termasuk dari hadits Anas- Maka Allah berfirman: '(Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa dan beriman serta beramal shalih …)” (QS. al-Maidah [5]: 93).





Munasabah Ayat
Ada orang-orang yang bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang telah gugur di jalan Allah sedangkan mereka mati dalam keadaan melakukan suatu hal yang melampaui batas dengan meminum khamar dan memakan dari hasil berjudi padahal Allah telah menjadikan kedua perbuatan tersebut dosa termasuk dari perbuatan setan." Kemudian Allah swt. menurunkan ayat, "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu..." (QS. al-Maidah [5]: 93). Kemudian ada orang-orang dari kalangan mutakallifin (orang-orang yang memaksakan dirinya) mengatakan, "Khamar itu adalah keji sedang ia berada di dalam perut si fulan yang telah gugur pada perang Uhud," kemudian Allah swt. menurunkan ayat, "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh..." (QS. al-Maidah [5]: 93).   

Sejarah pengharaman khamar sehingga sampai kepada surah al-Maidah: 93.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah ra. ia mengatakan, "Tatkala Rasulullah saw. sampai di Madinah, para penduduknya terbiasa minuman khamar dan permainan judi. Kemudian mereka menanyakan tentang kedua perbuatan itu kepada beliau. Setelah itu turunlah ayat,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
'Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi...' (QS. al-Baqarah [2]: 219). Akan tetapi orang-orang mengatakan, 'Allah tidak mengharamkannya, akan tetapi Ia mengatakan bahwa perbuatan itu hanyalah dosa yang besar saja. Mereka masih tetap meminum khamar, sehingga pada suatu hari seorang dari sahabat Muhajirin melakukan salat Magrib sebagai imam dari teman-temannya, akan tetapi bacaan Alquran salah karena mabuk.
 Setelah peristiwa itu Allah menurunkan ayat pengharaman khamar yang lebih berat dari semula, yaitu firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS. an-Nisa’ [4]: 43).
 Kemudian turun pula ayat pengharaman khamer yang jauh lebih keras dari sebelumnya, yaitu firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi...” sampai dengan firman-Nya,”...maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)...' (QS. al-Maidah [5]: 90-91).
Baru setelah turunnya ayat ini mereka mengatakan, 'Wahai Tuhan kami! Sekarang kami telah berhenti.'" Ada orang-orang yang bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang telah gugur di jalan Allah sedangkan mereka mati dalam keadaan melakukan suatu hal yang melampaui batas dengan meminum khamar dan memakan dari hasil berjudi padahal Allah telah menjadikan kedua perbuatan tersebut doas termasuk dari perbuatan setan." Kemudian Allah swt. menurunkan ayat,
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu..." (QS. al-Maidah [5]: 93).
Kemudian ada orang-orang dari kalangan mutakallifin (orang-orang yang memaksakan dirinya) mengatakan, "Khamar itu adalah keji sedang ia berada di dalam perut si fulan yang telah gugur pada perang Uhud," kemudian Allah swt. menurunkan ayat, "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh..." [3]
Terjadi statu peristiwa, bahwa setelah ayat ini (al-Maidah : 90-92)  Turun dengan menyebut diharamkannya khamar dan di sifatinya sebagai kotoran, dari perbuatan setan, munculah dua suara  di kalangan umat islam dengan redaksi kalimat yang sama tapi motivasi tujuannya beda. Sebagian sahabat merasa sedih dan berkata, “Bagaimana dengan teman-teman kami yang sudah meninggal dunia sedangkan mereka pada waktu hidupnya sudah minum khamar?”
Sebagian orang yang hendak yang hendak menimbulkan keraguan dan kebingungan juga mengucapkan perkataan yang seperti itu atau hampir sama dengan itu, dengan maksud untuk menimbulkan di dalam jiwanya rasa kurang percaya terhadap sebab-sebab pesyariatan ini. Atau, untuk menimbulkan perasaan telah hilangnya iman orang yang telah meninggal dunia sebelum di haramkannya khamar itu. Sedangkan, khamar itu kotor dari perbuatan setan, dan ia berada di dalam perut mereka. Nah, pada waktu itu turunlah ayat ini.
Ayat ini turun untuk menetapkan beberapa hal:
 Pertama, apa yang belum di haramkan pada waktu itu  tidaklah haram, dan keharaman sesuatu itu baru terjadi setelah ada nash yang mengharamkannya, bukan sebelumnya, serta keharaman ini tidak berlaku surut. Maka, tidak ada hukuman kecuali dengan adanya ketetapan nash, baik di dunia maupun di akhirat, karena nash itulah yang menciptakan hukum.
Kedua, Orang-orang yang sudah meninggal dunia sedang di dalam perutnya terdapat khamar, padahal waktu itu khamar belum diharamkan, maka mereka tidak menanggung dosa. Karena, tidak mengonsumsi sesuatu yang di haramkan dan tidak melakukan pelanggaran. Mereka waktu itu selalu takut  kepada Allah swt. dan menyadari bahwa Allah selalu melihat niat dan perbuatan mereka. Orang yang demikian keadaannya sudah tentu tidak mau mengonsumsi sesuatu yang haram dan melakukan pelanggaran.

Tafsir (QS. al-Maidah [5]: 93).
Setelah menjelaskan keharaman khamr, timbul pertanyaan di kalangan kaum muslimin tentang mereka yang telah meninggal dunia tetapi ketika hidupnya mereka pernah meminum khamr, padahal ketika itu khamr belum diharamkan. Demikian diriwayatkan dalam kitab-kitab shahih antara lain melalui Anas Ibn Mâlik, Ibn ‘Abbâs, dan lain-lain.
Dengan sangat serasi, ayat di atas berhubungan dengan ayat yang lalu sekaligus menjawab pertanyaan yang muncul dengan menegaskan bahwa:
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dengan iman yang benar dan mengerjakan amal saleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai Ilahi, tidak ada dosa bagi mereka menyangkut apa yang telah mereka makan dan minum dari makanan dan minuman yang terlarang sebelum turunnya larangan apabila mereka bertakwa dan beriman serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian walau berlalu masa yang panjang mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap juga bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai al-Muhsinîn, yakni orang-orang yang mantap upayanya berbuat kebajikan atau membudaya dalam tingkah lakunya kebajikan.
Tanpa mengetahui Sabab Nuzûl-nya, ayat ini telah disalahpahami oleh mereka yang hanya memandang kepada redaksinya. Ini karena redaksinya seakan-akan menoleransi makanan dan minuman terlarang selama yang meminumnya tetap beriman dan bertakwa, padahal bukan makna tersebut yang dimaksud. Ayat ini merupakan salah satu contoh yang menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan tentang Sabab Nuzûl ayat.
 Sementara ulama tidak menghubungkan ayat ini dengan larangan minum khamr, boleh jadi karena mereka tidak mengetahui atau mengabaikan Sabab Nuzûl-nya. Mereka menghubungkan ayat ini dengan ayat yang berbicara tentang larangan mengharamkan yang halal dan lezat dari aneka makanan yang dihalalkan Allah (baca kembali ayat 86), yakni bahwa larangan itu tidak berlaku terhadap mereka yang beriman dan beramal saleh serta bertakwa dan berbuat kebajikan. Tetapi, pendapat ini, di samping tidak sejalan dengan Sabab Nuzûl-nya ayat, juga tidak didukung oleh redaksi yang berbicara tentang tidak adanya dosa menyangkut apa yang telah dimakan—bukan tidak adanya dosa bagi apa yang tidak dimakan atau ditinggalkan dari makanan yang halal. Bukankah, seperti terbaca di atas, ayat ini menggunakan redaksi (طعموا) dalam bentuk kata kerja masa lampau yakni telah memakan?
Kata (طعموا) telah memakan berarti merasakan atau menikmati sehingga kata ini mencakup juga minuman. Surah al-Baqarah [2]: 149 mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang menggunakan kata (يطعم) untuk minum dari air sungai. Memang, bisa saja makan dan minum disebut berbarengan, tetapi tidak selalu demikian. Di sisi lain, jika Anda mengajak makan, secara otomatis Anda mengajak juga minum, tetapi tidak sebaliknya. [4]
Dengan penggunaan bentuk kata kerja masa lampau untuk kata telah makan, sekali lagi, tertampik pandangan segelintir orang yang mengatakan bahwa khamr dapat ditoleransi meminumnya selama yang bersangkutan tetap beriman dan beramal saleh. Pengulangan kata bertakwa dan beriman dapat dipahami dalam arti penekanan serta perbedaan objek takwa dan iman. Seperti terbaca di atas, kata takwa yang pertama disusul dengan iman dan amal saleh; yang kedua, takwa dengan iman saja; dan yang ketiga, adalah takwa dengan ihsân. Ath-Thabari memahami takwa dan iman yang pertama dalam arti menerima tuntunan Ilahi, membenarkan dengan tulus, serta mengamalkan dengan penuh kesungguhan. Sedang yang kedua adalah upaya mempertahankan keimanan dan ketakwaan pertama itu, serta mengasah dan mengasuhnya; sedang yang ketiga adalah meningkatkannya dengan berbuat ihsân dan amalan-amalan sunnah.
Thabâthabâ’i menilai bahwa iman demi iman dalam ayat ini tidak lain kecuali perincian iman menyangkut segala ketetapan yang ditetapkan Rasul saw. dari Tuhannya, keimanan yang menjadikan pemiliknya tidak menolak ketetapan atau enggan melaksanakannya. Ini pada akhirnya, bermakna tunduk kepada Rasul menyangkut segala yang beliau perintahkan dan larang. Dapat juga kata-kata iman, amal saleh, dan takwa yang dimaksud adalah tahap-tahap iman sehingga pengulangannya mengisyaratkan adanya peningkatan iman dan takwa yang bersinambung. Iman dan takwa yang pertama pada tingkat tertentu, yang kedua pada tahap yang lebih tinggi dan yang terakhir adalah tahap tertinggi. Karena itu, ia diakhiri dengan kata (احسنوا) sambil menekankan bahwa Allah menyukai al-Muhsinîn. Seperti telah sering dikemukakan, tingkat al-Muhsinîn adalah tingkat yang tertinggi. Lihat kembali uraian ayat 85 surah ini. Peningkatan dimaksud diisyaratkan juga oleh kata kemudian yang di sini berarti jarak menyangkut tingkat dan kedudukan.

Kesimpulan
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh tidaklah berdosa karena memakan makanan yang baik dan halal. Juga tiada dosa bagi mereka yang memakan makanan haram di masa lalu sebelum diketahui pengharamannya, selagi mereka takut kepada Allah dan menjauhinya setelah mengetahui pengharamannya, kemudian selalu takut kepada Allah dan membenarkan hukum-hukum yang disyariatkan, tetap dalam ketakutan kepada Allah disetiap masa, tulus ikhlas dalam perbuatan dan melaksanakannya dengan sempurna. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang ikhlas dalam perbuatannya sesuai dengan tingkat keikhlasan dan perbuatan mereka.


















DAFTAR PUSTAKA
Mudjab Mahali, A . 2002. Asbabun Nuzul, Study Pendalaman Surat Al-Baqoroh-An-Nas.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ensiklopedi Hadits Kutubuttis’ah. Kitab Minuman, Bab Haramnya Kahamer dan Penjelasan Minuman tersebut dari Perasan Anggur, Hadits No. 1980, Versi al-Alamiyah No. 3662.
Ensiklopedi Hadits Kutubuttis’ah. Kitab Tafsir Al-Qur’an, Bab Surat Al-Maidah ayat 93. Hadits No. 4254, Versi Fathul Bari No. 4620.
Shihab, M. Quraish. 2001. Tafsir Al-Mishbah, Cetakan 1. Ciputat: Lentera Hati.


[1] Play store, Ensiklopedi Hadits Kutubuttis’ah, Kitab Tafsir Al-Qur’an, Bab Surat Al-Maidah ayat 93, Hadits No. 4254, Versi Fathul Bari No. 4620.
[2] Play store, Ensiklopedi Hadits Kutubuttis’ah, Kitab Minuman, Bab Haramnya Kahamer dan Penjelasan Minuman tersebut dari Perasan Anggur, Hadits No. 1980, Versi al-Alamiyah No. 3662.
[3] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, Study Pendalaman Surat Al-Baqoroh-An-Nas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 343.
[4]M.  Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, cetakan 1, (Ciputat: Lentera Hati, 2001), Hal. 182.

Islamisasi Makanan

Mukhammad Muti’ur Ridho (Ushuluddin Semestester 5B) Judul Buku       :Indahnya Fiqih Praktis Makanan Penulis              : Abu Ub...