Tafsir Tahlili Surat
Annisa’ 105-113
إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
( 105 )
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
وَاسْتَغْفِرِ
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
( 106 )
dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ
أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا
( 107 )
Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa,
Allah Swt. berfirman,
ditujukan kepada Rasul-Nya:
إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.
(An-Nisa: 105)
Kitab itu adalah perkara
yang hak dari Allah; di dalam berita dan perintah serta larangannya mengandung
perkara yang hak.
Firman Allah Swt.:
إِلِتَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu.
(An-Nisa: 105)
Ayat ini dijadikan dalil
oleh kalangan ulama Usul yang berpendapat bahwa Nabi Saw. boleh memutuskan
peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini.
Berdasarkan
apa yang telah disebut di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah
Saw. pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu rumahnya. Maka
beliau keluar menemui mereka, dan bersabda:
Ingatlah,
sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya memutuskan peradilan
sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang dari kalian adalah
orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang lain, lalu aku
memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa yang aku telah
putuskan peradilan untuknya terhadap hak seorang muslim, sesungguhnya hal itu
hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, hendaklah ia membawanya atau
membiarkannya.
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan
kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Ummu Salamah yang
menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang mengadukan
persengketaan mereka kepada Rasulullah Saw. mengenai warisan yang ada di antara
keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai bukti. Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kalian
kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah
seorang dari kalian lebih lihai dalam alasannya daripada yang lain, dan aku
hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku
putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya, janganlah dia
mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka,
yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat. Maka
kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing mengatakan, "Hakku untuk
saudaraku." Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Mengapa tidak kalian katakan
sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan tegakkanlah perkara
yang hak di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di antara kamu berdua dan
hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada temannya.
Imam Abu Daud
meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid dengan lafaz yang sama, tetapi
ditambahkan:
Sesungguhnya aku hanya
memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan pendapatku sehubungan dengan
hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku mengenainya.
Mujahid,
Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah mengatakan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari kalangan Bani
Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang berbeda-beda,
tetapi pengertiannya berdekatan.
Muhammad
ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu Abu Isa At-Turmuzi
dalam kitab Jami'-nya dalam tafsir ayat ini —dan Imam Ibnu Jarir dalam kitab
tafsirnya— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu
Abu Syu'aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari
Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu
Nu'man r.a.) yang menceritakan hadis berikut:
Dalam
salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq
terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah
seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul
Saw., kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang
Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si
Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila
sahabat-sahabat Rasulullah Saw. mendengar syair tersebut, mereka berkata,
"Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang
jahat itu," atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang
mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang
miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah
makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai
kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia
membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun
anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang
kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa'ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan
pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam
pedaringan (gentong beras); di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju
besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku
kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan
dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa'ah
datang kepadaku melaporkan, "Hai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam
kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa
makanan serta senjata kita." Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan
itu. Kami bertanya ke sana dan kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa
mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka
berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami.
Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam
perkampungan itu, mereka mengatakan, "Demi Allah, kami merasa yakin orang
yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari
kalangan kita yang dikenal baik dan Islam." Ketika Labid mendengar tuduhan
itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, "Aku dikatakan
mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus
membuktikan pencurian ini." Mereka berkata, "Tenanglah, menjauhlah
engkau dari kami, engkau bukan pencurinya." Maka kami terus melakukan
penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka
adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, "Hai keponakanku,
sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah Saw. dan berbicara kepadanya
mengenai hal tersebut." Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang
kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Sesungguhnya ada suatu keluarga dari
kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa'ah ibnu Zaid,
lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka
mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk
mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata
kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan." Nabi Saw. bersabda,
"Aku akan melaksanakan hal tersebut." Tetapi ketika Bani Ubairiq
mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan
mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara
kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di
hadapan Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Qatadah ibnun Nu'man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan
kami yang dikenal sebagai ahli Islam dan orang baik-baik; lalu mereka menuduhnya
berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi." Qatadah melanjutkan kisahnya,
Maka aku datang lagi kepada Nabi Saw. untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi
Saw. bersabda (kepadaku), 'Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di
kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh
mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi'." Qatadah mengatakan,
"Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela
mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut
kepada Rasulullah Saw. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, 'Hai
keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?' Lalu aku menceritakan kepadanya
apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Maka pamanku berkata,
'Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan'." Tetapi tidak lama
kemudian turunlah wahyu Al-Qur'an yang mengatakan seperti berikut, yaitu:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat. (An-Nisa: 105) dan mohonlah ampun
kepada Allah. (An-Nisa: 106) Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang berkhianat'
itu adalah Bani Ubairiq. Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan
kepada Qatadah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.
(An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An-Nisa: 110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun,
niscaya mereka diampuni. Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya
ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (An-Nisa: 111) sampai
dengan firman-Nya: dosa yang nyata. (An-Nisa: 112) Firman Allah Swt. yang
ditujukan kepada Labid, yaitu: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepadamu. (An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114) Ketika Al-Qur'an telah
diturunkan kepada Rasulullah Saw., senjata itu diserahkan kepada Rasulullah
Saw., dan Rasulullah Saw. mengembalikannya kepada Rifa'ah. Qatadah mengatakan,
"Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan
pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman
Jahiliah; 'atau' di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu Isa, dan aku
menilai Islam pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya,
ia berkata, "Hai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat
sabilillah." Maka aku merasa yakin bahwa Islamnya adalah benar. Setelah
Al-Qur'an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan
orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd ibnu
Sumayyah. Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan barang siapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari
syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
(An-Nisa: 115-116) Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd, maka
Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil
pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar
rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata,
"Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan
datang kepadaku dengan kebaikan."
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di dalam
kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad ibnu
Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq secara
makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat syair.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam Muslim,
tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا
يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى
مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا (108)
( 108 )
mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi
dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka
menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridloi. Dan adalah Allah Maha
Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
Firman Allah Swt.:
يَسْتَخْفُونَ
مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ
mereka bersembunyi dari
manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah.
(An-Nisa: 108)
Ayat
ini mengingkari perbuatan orang-orang munafik, karena mereka menyembunyikan
keburukan-keburukannya dari mata manusia, agar manusia tidak ingkar terhadap
mereka (percaya kepada mereka), tetapi mereka berani terang-terangan melakukan
hal tersebut terhadap Allah, karena Allah melihat semua rahasia mereka dan
mengetahui apa yang terkandung di dalam hati sanubari mereka.
Karena itu, dalam firman
selanjutnya disebutkan:
وَهُوَ
مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا
يَعْمَلُونَ مُحِيطً
padahal Allah beserta
mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak
Allah ridai. Adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka
kerjakan. (An-Nisa: 108)
Ayat ini mengandung makna
ancaman dan peringatan terhadap mereka.
هَا
أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ
يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ
وَكِيلًا
( 109 )
Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat
untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan
mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang
menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?
Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
هَا
أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Beginilah kalian, kamu
sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam
kehidupan dunia ini. (An-Nisa: 109)
Dengan
kata lain, misalnya mereka menang dalam perkaranya berkat apa yang mereka
kemukakan atau berkat alasan-alasan yang mereka ajukan kepada para hakim yang
menjalankan tugasnya menurut apa yang ada pada lahiriahnya saja, sekalipun
mereka itu dianggap beribadah di dalam pekerjaannya. Maka apakah yang akan
dilakukan oleh mereka kelak di hari kiamat di hadapan peradilan Allah Swt. yang
mengetahui semua rahasia dan yang tidak tampak? Siapakah yang akan membela
mereka pada hari kiamat itu untuk memperkuat pengakuan mereka? Dengan kata
lain, makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang dapat menolong
mereka. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: Atau siapakah yang
jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? (An-Nisa: 109)
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ
ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
( 110 ) Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon
ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Allah
Swt. memberitakan tentang kemurahan dan kedermawanan-Nya, bahwa semua orang
yang bertobat kepada-Nya, pasti Dia menerima tobatnya atas semua dosa yang
telah ia
lakukan.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ
سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ
غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada
Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(An-Nisa: 110)
Ali
ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas telah mengatakan
sehubungan dengan ayat ini, bahwa Allah Swt. memberitahukan kepada
hamba-hamba-Nya tentang ampunan-Nya, sifat penyantun-Nya, kemurahan-Nya,
keluasan rahmat-Nya, dan pemaafan-Nya. Barang siapa yang mengerjakan suatu
dosa, baik kecil ataupun besar.
ثُمَّ
يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
kemudian ia mohon ampun
kepada Allah,' niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(An-Nisa: 110)
Sekalipun dosa-dosanya
lebih besar daripada langit, bumi dan semua gunung. Demikianlah menurut apa
yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu
Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musanna,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Asim, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Abdullah
pernah menceritakan, ''Dahulu kaum Bani Israil, apabila seseorang dari mereka
melakukan suatu dosa, tercatat kifarat dosanya itu di atas pintu rumahnya.
Apabila ada air seni yang mengenai sesuatu dari pakaiannya, maka ia harus
menggunting bagian yang terkena itu dengan gunung dan membuangnya." Maka
ada seorang lelaki berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberikan kebaikan
kepada kaum Bani Israil." Lalu Abdullah ibnu Mas'ud r.a. berkata,
"Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang
diberikan-Nya kepada mereka. Allah telah menjadikan air suci lagi menyucikan
bagi kalian." Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Dan
(juga) orang-orang yang apabila mereka mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka. (Ali Imran: 135); Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan
dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Ibnu
Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan
kepada kami Hasyim, dari Ibnu Aun, dari Habib ibnu Abu Sabit yang menceritakan
bahwa ada seorang wanita datang kepada Abdullah ibnu Mugaffal, lalu wanita itu
menanyakan kepadanya tentang seorang wanita yang berbuat zina hingga
mengandung. Setelah melahirkan bayinya, maka bayi itu ia bunuh. Abdullah ibnu
Mugaffal menjawab, bahwa wanita tersebut masuk neraka. Maka wanita yang
bertanya itu pergi seraya menangis. Lalu Abdullah ibnu Mugaffal memanggilnya dan
berkata kepadanya, "Menurutku, perkaramu itu hanyalah salah satu di antara
dua pilihan," lalu Abdullah membacakan firman-Nya: Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada
Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:
110) Mendengar hal tersebut wanita itu mengusap air matanya, kemudian pergi.
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Abdur-Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada
Kami Syu'bah, dari Usman ibnul Mugirah yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Ali ibnu Rabi'ah dari Bani Asad menceritakan hadis kepada Asma atau
Ibnu Asma dari Bani Fazzarah, bahwa Ali r.a. pernah mengatakan, "Apabila aku
mendengar dari Rasulullah Saw. sesuatu hal, maka Allah memberikan manfaat
kepadaku mengenainya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Telah menceritakan
kepadaku Abu Bakar As-Siddiq, dan memang Abu Bakar itu orangnya siddiq; ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Tidak sekali-kali seorang
muslim melakukan suatu dosa, lalu ia melakukan wudu dan salat dua rakaat,
kemudian memohon ampun kepada Allah untuk dosa tersebut, melainkan Allah
memberikan ampun baginya'." Kemudian Rasulullah Saw. membacakan kedua ayat
berikut, yaitu firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan
menganiaya dirinya. (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. (Ali
Imran: 135), hingga akhir ayat.
Kami
membicarakan tentang hadis ini dan menisbatkannya kepada orang-orang dari
kalangan ashabus sunan yang meriwayatkannya. Kami menyebutkan pula perihal
sesuatu kelemahan pada sanadnya dalam Musnad Abu Bakar As-Siddiq r.a. Sebagian
darinya telah diterangkan di dalam surat Ali Imran.
Ibnu Murdawaih
meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Ali r.a. Untuk
itu ia mengatakan:
telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Ishaq Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Mihran Ad-Dabbag,
telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yazid, dari Abdu Khair, dari Ali yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar As-Siddiq menceritakan bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: tidak sekali-kali seorang hamba
melakukan perbuatan dosa, lalu ia bangkit melakukan wudu dengan wudu yang baik,
kemudian berdiri melakukan salat, lalu memohon ampun dari dosanya, melainkan
pasti Allah memberikan ampunan kepadanya. Karena Allah Swt.
telah berfirman, "Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau
menganiaya dirinya" (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat.
Kemudian
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Abban (ibnu Abu Ayyasy), dari
Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali, dari As-Siddiq dengan lafaz yang
semisal. Tetapi sanad hadis ini tidak sahih.
Ibnu
Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu
Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada
kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Mubasysyir ibnu
Ismail Al-Halbi, dari Tammam ibnu Nujaih, telah menceritakan kepadaku Ka'b ibnu
Zahl Al-Azdi yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda menceritakan
hadis berikut: "Rasulullah Saw. bilamana kami sedang duduk di sekitarnya,
lalu beliau hendak membuang hajatnya, maka beliau bangkit untuk menunaikan
hajatnya; dan bila beliau hendak kembali lagi ke majelisnya, maka
ditinggalkannya sepasang terompahnya atau salah satu dari pakaiannya. Kali ini
beliau Saw. bangkit ke hajatnya dan meninggalkan sepasang terompahnya."
Abu Darda melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. membawa segayung air, dan
aku mengikutinya. Kemudian beliau pergi selama sesaat, tetapi kembali lagi
tanpa menunaikan hajatnya, lalu bersabda: 'Sesungguhnya telah datang utusan
dari Tuhanku yang menyampaikan, barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau
menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka aku bermaksud untuk menyampaikan
berita gembira ini terlebih dahulu kepada sahabat-sahabatku”." Abu Darda
melanjutkan kisahnya, "Terasa berat oleh orang-orang ayat yang sebelumnya,
yaitu firman-Nya: 'Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu' (An-Nisa: 123). Setelah Rasulullah Saw.
menyampaikan berita gembira itu, maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah,
sekalipun dia telah berzina dan telah mencuri, lalu ia memohon ampun kepada
Tuhannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya?' Rasulullah Saw. menjawab,
'Ya.' Aku bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, dan beliau menjawab, 'Ya.'
Ketika aku bertanya untuk yang ketiga kalinya, maka beliau Saw. bersabda: 'Ya,
sekalipun dia telah berbuat zina, dan sekalipun dia telah mencuri, lalu ia
memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah memberikan ampunan baginya, sekalipun
hidung Abu Darda keropos'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Setiap kali
aku melihat Abu Darda menceritakan hadis ini, ia selalu memukul hidungnya
dengan jarinya."
Hadis ini garib sekali
bila ditinjau dari segi sanadnya dengan konteks seperti ini, dan di dalam
sanadnya terdapat kelemahan.
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ
عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
( 111 ) Barangsiapa
yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ
Barang siapa yang
mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudaratan)
dirinya sendiri. (An-Nisa: 111)
Ayat ini semakna dengan
ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَىٰ
dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-An'am: 164)
Dengan
kata lain, seseorang tidak dapat menyelamatkan orang Lain. Sesungguhnya setiap
orang akan menerima sendiri akibat dari apa yang dikerjakannya, tidak dapat
membebankannya kepada orang lain. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
وَكَانَ
اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 111)
Hal tersebut terjadi
berkat pengetahuan-Nya, kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, dan rahmat-Nya.
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ
يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
( 112 ) Dan
barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada
orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan
dan dosa yang nyata.
Kemudian Allah Swt.
berfirman:
وَمَنْ
يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ
بُهْتَانًا وَإِثْمًا
Dan barang siapa yang
mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak
bersalah. (An-Nisa: 112), hingga akhir ayat.
Seperti
yang dilakukan oleh Bani Ubairiq, ketika ia melemparkan tuduhan perbuatan
jahatnya kepada orang Lain yang dikenal saleh, yaitu Labid ibnu Sahl,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis di atas. Atau seperti apa yang
dituduhkan orang-orang kepada Zaid ibnus Samin (seorang Yahudi), padahal Zaid
tidak bersalah; dan mereka yang menuduhnya sebagai orang-orang zalim yang
berkhianat, seperti yang diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Kemudian
ancaman dan cemoohan ini bersifat umum. Dengan kata lain, mencakup pula selain
mereka yang disebut dari kalangan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat
seperti mereka dan berkarakter seperti mereka; maka baginya hukuman yang sama
seperti yang diterima mereka.
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ
لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا
أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
( 113 ) Sekiranya
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu.
Firman Allah Swt.:
وَلَوْلَا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ
يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ
Sekiranya
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun
kepadamu. (An-Nisa: 113)
Imam
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim
Al-Harrani dalam surat yang ditujukannya kepadaku, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu
Qatadah Al-Ansari, dari ayahnya, dari kakeknya Qatadah ibnun Nu'man, lalu ia
menyebutkan kisah Bani Ubairiq, dan Allah Swt. menurunkan firman-Nya: tentulah
segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak
menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat
sedikit pun kepadamu. (An-Nisa: 113); Yang dimaksud dengan 'mereka' adalah
Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya.
Dengan
kata lain, ketika Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya memuji tindakan Bani
Ubairiq dan mencela Qatadah ibnu Nu'man karena ia menuduh mereka yang mereka
anggap sebagai orang baik-baik dan tidak bersalah, padahal duduk perkaranya
tidaklah seperti apa yang mereka sampaikan kepada Rasulullah Saw. Karena itulah
maka Allah menurunkan penyelesaian masalah tersebut dan membukakannya kepada
Rasulullah Saw.
Kemudian Allah
menganugerahkan kepadanya dukungan-Nya dalam semua keadaan dan memelihara
dirinya. Allah menganugerahkan pula kepadanya Al-Qur'an dan hikmah, yakni
sunnah.
وَعَلَّمَكَ
مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (An-Nisa: 113)
Yakni sebelum hal
tersebut diturunkan kepadamu. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ
أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ
جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
52.
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(Asy-Syura: 52).
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ
الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا
لِلْكَافِرِينَ
86.
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia
(diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah
sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. (Al-Qasas: 86)
Karena itu dalam ayat ini
Allah Swt. berfirman:
وَكَانَ
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Dan adalah karunia Allah
sangat besar atasmu. (An-Nisa: 113)
PENUTUP
Ayat 106 terkait dengan ayat sebelumnya. Allah memerintahkan kaum
mukmin beristighfar pada Allah dengan banyak karena dalam pelaksanaan agamanya
pasti banyak kelemahan dan kesalahan. Dengan beristighfar, Allah akan menghapus
kelemahan dan kesalahan yang kita perbuat.
Sedangkan ayat 107-113 menjelaskan larangan berdebat dengan
orang-orang yang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka selalu menjaga
citra di hadapan manusia, tapi tidak mau menjaganya di hadapan Allah, padahal
Allah selalu memonitor semua perbuatan mereka. Karena ilmu Allah itu meliputi
segala sesuatu.
Allah melarang kaum muslimin untuk berdebat demi membela para
pengkhianat di dunia, padahal di akhirat nanti mereka tidak akan mendapatkan pertolongan
dan pembelaan dari Allah. Kalau pernah berdebat membela mereka, maka segeralah
bertaubat kepada Allah.
Siapa yang berbuat dosa atau menganiaya diri, kemudian ia
bertaubat, pasti Allah ampuni. Setiap dosa yang dilakukan pasti akan ditanggung
oleh pelakunya. Menuduh orang yang tidak bersalah, adalah perbuatan kebohongan
dan dosa besar.
Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah niscaya tidak ada
satupun dari kaum mukmin yang lolos dari makar kesesatan yang dilancarkan
musuh-musuh Islam. Dengan berbekal Al Qur’an, hikmah dan ilmu yang diajarkan
Allah, maka kaum mukmin bisa selamat dari upaya penyesatan yang dilakukan
musuh-musuh Allah terhadap mereka.
Casinos near me - Mapyro
BalasHapusCasinos with Casinos 여수 출장샵 with Casinos with Casinos 울산광역 출장마사지 with Casinos with Casinos with Casinos with Casinos with Casinos with Casinos with Casinos with 논산 출장샵 Casinos with 동두천 출장안마 Casinos with 군포 출장마사지 Casinos with