Senin, 08 Januari 2018

Kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur Imam Jalaluddin As-Suyuti




Kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur
Imam Jalaluddin As-Suyuti
PENDAHULUAN
Secara garis besar, kitab tafsir terbagi dalam dua pembagian, yakni bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Kitab yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam makalah ini adalah kitab yang dikarang oleh Imam As-Suyuthi yang berjudul Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir alMa’tsur. Kitab ini digolongkan sebagai kitab yang menafsirkan ayat al-Quran dengan bi al-Ma’tsur. Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah metode penafsiran yang digunakan oleh Imam As-Suyuthi sehingga kitabnya disebut sebagai kitab bi al-Ma’tsur.

PEMBAHASAN
A. Biografi Penulis
Beliau bernama Abdurrahman bin Kamal bin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin bin Fajr bin Utsman bin Nadiruddin Hamam al-Hudhairi as-Suyûthî. Jalaluddin adalah laqab beliau dan Abu Fadl kunyah-nya. Sedangkan al-Hudhairi, sebagaimana dijelaskan al-Suyuthidalam kitabnya Husnûl Muhậdharah merupakan pe-nisbat-an kepada Hudhairiyyah, satu daerah di Baghdad yang merupakan kota kelahiran buyutnya. Adapun nama al-Suyuthidinisbatkan kepada propinsi Asyut di negara Mesir dan merupakan tempat kelahiran beliau. Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.
Beliau lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan bulan Rajab tahun 849 H atau 1445 M. Ketika ayahnya wafat, beliau masih berusia 5 tahun 7 bulan dan telah hafal al-Qur’an hingga surat al-Tahrîm. Selepas ayahnya mangkat, pengasuhannya diserahkan kepada beberapa pihak, di antaranya Kamal bin Hamam (Pengarang Fathûl Qadîr), di bawah pengawasannya, Imam al-Suyuthimampu mengkhatamkan al-Qur’an pada usia kurang dari 8 tahun serta telah hafal beberapa kitab kecil antara lain; Umdatul Ahkậm, Minhâj Nawâwi, Alfiah ibn Malîk, Minhâj Baidlâwi dll.
Ketika menuntut ilmu, Imam al-Suyuthitidak hanya belajar di satu tempat, tetapi banyak melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negara untuk menemui ulama-ulama besar. Negara-negara yang telah dikunjunginya adalah Mesir, Syam, Yaman, India, Takrur, dan Hijaz. Adapun tempat-tempat yang telah dikunjunginya di Mesir adalah al-Fayum, Dimyat, al-Mahalah, dan lain-lain.
Pada usia 16 tahun (864 H), beliau memulai pengembaraan keilmuannya. Menurut penuturan muridnya, Al-Dawudi, tidak kurang dari 51 guru (Syeikh) beliau datangi, dari berbagai disiplin ilmu. Beliau belajar ilmu Faraidl dari ahli Faraidl di zamannya, Syeikh Syahabudddin as-Syarmisaji. Berguru Fiqh kepada Alamaddin al-Bulqiny hingga tahun 878 H. Belajar Ulûmul al-Qur’an dan Fiqh kepada Syarafuddin al-Manawy. Darinya beliau belajar al-Minhâj, Syarh Bahjah dan Tafsîr Baidlâwi. Kemudian belajar hadîts kepada Taqiyuddin al-Syabli al-Hanafi selama 4 tahun. Selanjutnya berguru Tafsîr, Ushûl, Lughah, Ma’ậni dll. selama 14 tahun kepada Syeikh Mahyaddin al-Kafiyaji. Selain itu, beliau juga sering sima’an kepada beberapa syeikh, yang kalau dihitung kurang lebih 150 Syeikh beliau datangi bersama rekannya Syamsuddin al-Syahawi dan Ali al-Asymuni, di antaranya; syeikh Syaifuddin al-Hanafi, syeikh Sairafi, syeikh Syamsuddin al-Marzabani dan lain-lain.[1]
Menginjak usia 40 tahun, beliau mengasingkan diri dari urusan keduniaan dan lebih berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah SWT. Benar-benar pengunduran diri secara total, sehingga seolah-olah tidak mengenal siapapun di dunia ini. Beliau berhenti menulis, meninggalkan majlis fatwa, dan pengajaran setelah 22 tahun bergelut dalam dunia tersebut. Namun beliau mengungkapkan alasan pengunduran dirinya ini dalam sebuah buku berjudul at-Tanfis. Beliau tinggal di Raudhatul Miqyas, dan tidak berpindah dari sana hingga akhir hayatnya. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jum’at bertepatan dengan 17 Jumadil Ula di Raudhatul Miqyas setelah mengalami sakit selama seminggu akibat pembengkakan pada tangan kirinya pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari. Dimakamkan di daerah Husy Qushun samping Bab Qurafa.
B. Guru dan Karya al-Suyuthi
Imām as-Suyûthî tidak hanya menguasai satu macam ilmu, tetapi ia menguasai tujuh macam ilmu, yakni tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’ni, bayan, dan badi. Kitab hasil karya tangan as-Suyûthî sangat banyak jumlah diberbagai bidang. Sebagian besar kitabnya termasyhur di seluruh dunia, baik ditimur maupun dibarat. Hal ini dapat dipahami karena ia menguasai berbagai ilmu dan kegiatan menulisnya telah ia mulai sejak berusia 17 tahun. Dalam kegiatan menuntut ilmu beliau sudah banyak mendatangi Ulama besar, diantaranya adalah:
a.       Jalaluddîn Al-Mahalli
b.      Amâd bin ‘Ali Ayamsahi (ulama fara’id)
c.       Al-Bulqaini (ulama fiqih)
d.      As-Syamani (ulama hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu)
e.       Al-Izzu anbâli (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah)
Selain guru laki-laki, as-Suyûthî  juga meresap ilmu dari sejumlah ilmuwan perempuan, diantaranya:
a.       Aisyah binti Jarullah
b.      Ummu Hani binti Abul Hasan
c.       Shalihah binti ‘Ali
d.      Niswan binti Abdullah Al-Kanani
e.       Hajar binti Muhammad Al-Mishriyyah[2]
Dalam berkarya, beliau sangat produktif, tidak satu disiplin ilmupun beliau tinggalkan kecuali beliau menyusunnya menjadi satu manuskrip yang berharga, ini dikuatkan muridnya, ad-Dawadi dalam biografinya. Bahkan dalam menghasilkan karya yang tergolong sangat cepat, menempatkannya sebagai ilmuan tangguh di jamannya. Kata ad-Dawadi, Aku menyaksikan Syeikh (Imam Suyuthi), beliau menulis dalam satu hari sampai 3 buku yang disusun dan diterbitkan. Hingga tahun 904 H atau 7 tahun sebelum wafatnya, 538 karya beliau hasilkan mencakup bidang ilmu tafsir, hadits, musthalah, fiqh, ushul fiqh & tasawwuf, lughah, nahwu dan tashrif, ma’ani, bayan dan badi’, dan sejarah atau tarikh.
Pada usia 40 tahun Ia mengundurkan diri dari masyarakat ramai untuk memamfa’atkan seluruh perhatiannya untuk studi dan menulis. Hasil kerja keras beliau itu adalah berupa buku buku tebal yang terdiri dari beberapa jilid sampai buku-buku yang lebih kecil yang seluruhnya kurang lebih berjumlah 600 (enam Ratus) judul.
Berikut ini kutipkan sebagian karya-karya Imam Suyûthî:
a.    Bidang tafsir & ulumul Qur’an, di antaranya Tafsîr Jalâlain, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Al-Durr al-Mansûr fî Tafsîr bil Ma’tsûr, Libab an-Nuqul fi Asbâb al-Nuzûl, dan Al-Alfiah fî Qirâtil al-Asyr.
b.    Bidang hadits, di antaranya Al-Jam’i al Kabîr, Tadrîbu ar-Râwi, Al-Ahadîts al-Manfiyah, Is’af al-Mubatha’ fi Rijâl al-Muwâtha’, dan Jam’u al-Jawâmi’.
c.    Bidang fiqh, di antaranya Al-Isybah wa an-Nadhair, Jam’u al-Jawâmi’, Al-Azhâr al-Giddhah fî Fiqh ar-Raudah, Tasynif al-Asmâ bi Masâil al-Ijmâ’, dan Al-Lawâmi’ al-Bawariq fi al-Jawâmi’ wa al-Fawariq.
d.   Bidang lughah atau Bahasa, di antaranya Jam’u al-Jawâmi’, Al-Faridah fî an-Nahwû wa at-Tashrîf wa al-Khât, dan Al-Fath al-Qarib ‘ala ma’na al-Labib.
e.    Bidang ushul, bayan dan tashawwuf, di antaranya Syarh al-Kawkab al-Waqad fi al-I’tiqad, ‘Uqud al-Jamad fî al-Ma’âni wa al-Bayân, dan Muhtashar al-Ahyâd.
f.     Bidang tarikh dan adab, di antaranya Thabaqat al-Huffadz, Tarikh Misr, dan Syarh Bant Su’ad. [3]


B. Kondisi Politik pada Masa al-Suyuthi
            Merujuk pada masa hidup beliau dari tahun 849 hingga 911 H. Maka dapat diketahui bahwa al-Suyuthi melalui 6 periode khalifah mulai dari al-Mustakfi hingga al-Mutawakkil III. Dalam bidang sejarah sendiri beliau menulis kitab berjudul Tarikh Khulafa. Pada kitab ini beliau menulis biografi para khalifah mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga al-Mutawakkil II[4].
            Al-Mustakfi III, Abu ar-Rabi' Sulaiman al-Mustakfi Billah bin al-Mutawakkil 'Alallah lahir pada tahun 791 H menjadi khalifah pada tahun 825 hingga 854. Ia dilantik menjadi khalifah atas wasiat saudara kandungnya al-Mu’tadhid III. al-Mu'tadhid III menjadikan saudaranya sebagai khalifah sesudah dirinya dan pemimpin bagi kaum muslimin. Semua ini dilakukan karena ia mengetahui tentang kebaikan agamanya, keluhuran akhlak dan keadilannya. al-Mustakfi III memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menjadi khalifah. Al-Mustakfi III juga dinilai sebagai pribadi yang memiliki nilai-nilai kesalehan. Sangat taat beragama dan dikenal ahli ibadah. Banyak membaca al-Qur'an, banyak mengerjakan salat, dan bermunajat kepada Allah. al-Mu'tadhid III menggambarkan perilaku saudaranya itu sebagai berikut, Saya tidak pernah melihat sejak kecilnya Sulaiman melakukan dosa besar."[5]
            Al-Qaim II, Abu al-Baqa Hamzah al-Qaim Biamrillah bin al-Mutawakkil 'Alallah menjadi khalifah pada tahun 854 H hingga dilengserkan pada tahun 859 H. Al-Qaim dikenal sangat pemberani dan keras, namun tidak mampu menegakkan khilafah, kecuali beberapa sisinya saja. Dia terkenal kejam. Sifat yang berbeda dengan saudara-saudaranya. ada masa pemerintahannya, Sultan Malik azh-Zhahir Jaqmaq wafat pada awal tahun 857 H. Maka Utsman, anaknya dilantik menggantikannya dengan gelar al-Manshur. Tetapi ia berkuasa begitu singkat, yaitu menjadi sultan hanya satu setengah bulan saja. Penyebabnya ialah karena kekuasaanya direbut oleh Inal bahkan Inal menangkapnya. Kemudian khalifah mengangkat Inal sebagai sultan pada Rabiul awal. etelah itu terjadi perseteruan antara dia dengan khalifah. Perseteruan terjadi karena ada beda pendapat tentang pasukan. Akibatnya pada bulan Jumadal akhir tahun 859 H khalifah dilengserkan. Lalu dipenjarakan di Iskandariah sampai wafat pada tahun 683 H.[6]
            Al-Mustanjid II, Abu al-Mahasin Yusuf al-Mustanjid Billah bin al-Mutawakkil 'Alallah. Ia menjadi khalifah pada tahun 859 H hingga 884 H. Ia dilantik sebagai khalifah setelah saudaranya, Al-Qa'im II. Di antara catatan emas yang pernah diperbuatnya adalah dia tidak pernah mengangkat seorang pun di Mesir untuk menduduki posisi yang terkait dengan keagamaan seperti hakim, pengajar agama, atau penanggung jawab lembaga keagamaan, melainkan mereka melakukan perbaikan-perbaikan yang tampak dan hal itu berlanjut berbulan-bulan. Ia tidak memberikan posisi kepada hakim atau syaikh karena harta.[7]
            Al-Mutawakkil II, Abu al-'Izz Abdul Aziz al-Mutawakkil 'Alallah bin Ya'qub bin al-Mutawakkil 'Alallah. Lahir pada tahun 819 H menjadi khalifah pada tahun 884 H hingga wafatnya pada tahun 903 H. Ketika Al-Mustanjid II menderita sakit dalam waktu lama, ia mewasiatkan kekhalifahan kepadanya. Maka hari Senin, 16 Muharram 884 H, ia langsung dilantik sebagai khalifah setelah al-Mustanjid wafat. Pelantikannya dihadiri oleh sultan, para hakim dan para pembesar. Al-Mutawakkil II dibesarkan secara terhormat, banyak dimintai pendapat. Akhlaknya yang mulia membuat dia sangat dicintai masyarakat dan para pembesar. Dikenal sebagai khalifah yang rendah hati, perilakunya menyejukkan, dan wajahnya selalu ceria saat bertemu siapa pun. Ia juga memiliki wawasan yang luas, banyak menggeluti ilmu. Dia dinikahkan oleh pamannya Al-Mustakfi III dengan putrinya sendiri yang kemudian melahirkan anak yang saleh. Dengan demikian ia adalah Bani Hasyim di tengah Bani Hasyim.[8]
            Dari biografi singkat khalifah-khalifah yang terakam dalam kitabnya, dapat disimpulkan bahwa al-Suyuthi hidup sebagian besar pada masa yang cenderung stabil dan mendukung untuk pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
C. Gambaran Umum al-Durr al-Mansur
            Kitab ini disusun pertama kali pada tahun 898 H, yang seluruhnya sebanyak 8 jilid. Kitab ini telah dicetak oleh beberapa penerbit, antara lain, al-Maimuniyah, Kairo, sebanyak 6 jilid, dibawah pengawasan Muhammad al-Zuhri al-Gamrawi, yang dipinggirnya terdapat kitab tanwir al-Miqbas. Kemudian dicetak lagi Dar al-Fikr, Beirut, pada tahun 1403 H/1983 M.
            Sebelum menulis kitab tafsir ini, al-Suyuthi telah menulis kitab tafsir yang berjudul Majma’ al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrain Meski tidak ditemukan wujudnya secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat bentuk penafsiran bi al-manqul dan bi al-ma’qul, penetapan hukum, makna-makna tersirat, juga pembahasan dari sisi kebahasaan, sehingga seandainya kita tidak melihat kitab tafsir lainnya, maka tafsir ini sudah mencukupi. Beliau juga menjadikan isi di kitap al-Itqan sebagai mukaddimahnya.
            Namun, setelah itu beliau menulis kitab tafsir yang berisi penafsiran Rasulullah dan sahabat, yang keseluruhannya tidak kurang dari tujuh belas ribuan hadis, baik yang marfu’ (sampai ke Rasulullah) maupun mauquf (sampai ke sahabat). Kitab tafsirnya ini, diberi judul Turjumah al-Qur’an.
            Setelah itu, beliau menulis lagi sebuah kitab tafsir yang diberi judul al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, yang merupakan ringkasan kitabnya turjuman al-Qur’an. Dalam hal ini beliau menjelaskan dalam mukaddimahnya:
            “Ketika saya selesai menyusun kitab tafsir Tarjuman al-Quran, yaitu penafsiran yang didasarkan pada Rasulullah dan sahabat, saya bermaksud untuk mentakhrij hadis-hadis yang ada pada kitab tafsir Turjuman al-Qur’an tersebut. Juga memperpendek jalur sanadnya, maka disusunlah tafsir al-Durr al-Mantsur ini dengan hanya menyebutkan matannya tanpa memperpanjang jalur sanadnya, dan telah ditakhrij dengan berpedoman pada kitab-kitab takhrij muktabar.”[9]

D. Karakteristik Tafsir al-Durr al-Mantsur
            Al-Suyuthi mengawali penafsirannya dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang terkait dengan tempat turunnya surah dan keutamaannya, serta keutamaan membacanya. Kemudian menyebutkan riwayat-riwayat lainnya yang terkait dengan tempat turunnya surah dan keutamaannya, serta keutamaan membacanya. Kemudian menyebutkan riwayat-riwayat lainnya berkaitan dengan qira’at dan tafsirnya.
            Kitab al-Durr al-Mantsur adalah model kitab tafsir bil ma’tsur yang beraliran Ahl al-sunnah yang paling banyak dibuang sanadnya. Dalam hal ini, al-Suyuthi tidak memberi alasan yang jelas. Padahal, hal ini tidak lumrah di Jazirah Arab saat itu. Al-Suyuthi juga mengutip beberapa riwayat yang berbeda-beda tentang qira’at yang berbeda-beda tentang qira’at yang bermacam-macam hanya untuk satu ayat.
            Al-Suyuthi memang sangat konsisten dalam menjaga periwayatan dalam kitab tafsirnya ini, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in, namun sayangnya beliau tidak menjelaskan status riwayat-riwayat tersebut apakah shahih, hasan, dha’if, atau bahkan maudhu. Seandainya ada yang dijelaskan kedhaifannya itupun sangat sedikit. Alangkah baiknya jika al-Suyuthi menjelaskannya, sebab bagi si pembaca tidak mungkin bisa mengetahui keshahihan hadis tersebut jika hanya satu sanad saja yang tersisa, terlebih pada masa sekarang.
            Ada banyak imam hadis yang beliau ambil riwayatnya, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ahmad, Abu Daud, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan lain-lain.
            Yang sangat menonjol dari kitab tafsir ini adalah bahwa penulisnya merupakan seorang muhaddis. Para ahli hadis berpendapat, bahwa penyebutan sanad harus dibarengi dengan penguat. Jika tidak, maka tidak akan dinukil di dalam  kitab tersebut. Demikian ini agar tidak masuk kisah-kisah israiliyat, riwayat-riwayat yang maudhu’, juga kisah-kisah masa lalu yang sangat tidak logis, dan bahkan di antaranya mencederai kemaksuman Rasul. Atas alasan inilah, maka perlu adanya penjelasan yang memadai terkait dengan status hadis-hadis tersebut. Sebagaimana layaknya kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur yang lain.
            Sebagai buktinya, banyak ditemukan kisah-kisah dan riwayat-riwayat israiliyat yang tidak disertai dalil-dalil dan bahkan bertentangan dengan akal sehat, seperti kisah Harut dan Marut, kisah putera Ibrahim yang disembelih, yang menurut kitab ini adalah Ishaq, kisah Yusuf, Daud dan Sulaiman, Ilyas. Bahkan, al-Suyuthi terlalu berlebihan dalam menuturkan riwayat-riwayat yang terkait dengan yang menimpa Nabi Ayyub, padahal sebagian besar dari riwayat-riwayat tersebut tidak sahih dan kebanyakan dari kisah-kisah israiliyat.[10]


Contoh Penafsiran Kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur

1.      Penafsiran riwayat israiliyyat
Mengutip riwayat isrâîliyât tanpa didiringi dengan kritikan, penjelasan ataupun komentar terhadap riwayat tersebut.
Contoh penafsiran Imam as-Suyûthî dalam menafsirkan surat Thaha [20]: 120;
و أخرج عبد الرزاق و عبد بن حميد، و الحكيم الترمذى فى (نوادر الأصول) و إبن جرير، و إبن المنذر، و إبن أبى حاتم، و أبو الشيخ، عن و هب بن منبه قال : لما أسكن الله أدم الجنة وزوجته و نهاه عن الشجرة، كانت الشجرة عصونها متشعبة بعضها فى بعض، و كان لها ثمر تأكله الملائكة لخلدهم، وهى الثمرة التى نهى الله أدم عنها وزوجته، فلما أراد إبليس أن يستزلهما دخل فى جوف الحية، وكانت الحية لها أربع قوائم كأنها بختية من أحسن دابة خلقها الله، فلم دخلت الحية الجنة خرج من جوفها إبليس، فأخذ من الشجرة التى نهى الله أدم وزوجته عنها، فجاء بها إلى حواء فقال: انظرى إلى هذه الشجرة، ماأطيب ريحها، و أطيب طعمها، و أحسن لونها! فأخذتها حواء  فأكلتها، ثم ذهبت إلى أدم فقالت: انظر إلى هذه الشجرة، ما أطيب ريحها، و أطيب طعمها، وأحسن لونها! فأكل منها أدم فبدت لهما سواتهما، فدخل أدم فى جوف الشجرة، فناداه ربه: أين أنت ؟ قال: هأنذا يا رب. قال: ألا تخرج؟ قال: أستحى منك يا رب. قال: اهبط إلى الأرض. ثم قال: يا حواء، غررت عبدى، فإنك لا تحملين حملا إلا حملت كرها، فإذا أردت أن تضعى ما فى بطنك أشرفت على الموت مرارا. وقال للحية: أنت الذى دخل الملعون فى جوفك حتى غر عبدى، أنت ملعون لعنة، تتحول قوائمك فى بطنك، ولا يكون لك رزق إلا التراب، أنت عدو بنى أدم وهم أعداؤك، أينما لقيت أحد منهم أخذت بعقبه، و حيث ما لقيك أحد منهم شدح رأسك، قيل لوهب: وهل كانت الملائكة تأكل؟! قال: يفعل الله ما يشاء.[11]
           Dalam mukaddimah as-Suyûthî sudah mengatakan, untuk mempercepat sampai kepada maksud matan dan tidak berpanjang-panjang, imam as-Suyûthî menghilangkan sanad dari riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, demikian juga riwayat yang teridentifikasi bersumber dari isrâîliyât, seperti riwayat yang penulis nukil, riwayat yang bersumber dari Tokoh Bani Ahl al-Kitâb yang sudah masuk Islam, namun riwayat tersebut juga oleh mufassîr Imam as-Suyûthî tidak mengiringinya dengan komentar ataupun penilaian terhadap riwayat-riwayat.
            Oleh sebab itu penulis berkesimpulan penting sekali untuk mengungkapkan riwayat-riwayat yang dinukil oleh Imam as-Suyûthî untuk menafsirkan al-Qur’an yang dikutip dari riwayat-riwayat yang bersumber dari tokoh Ahl al-Kitâb yang sudah masuk Islam, ataupun riwayat-riwayat yang teridentifikasi bersumber dari tahayul dan khurafat Bani israil, sehingga pembaca tafsir al-Durr Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr bisa mengetahui dan lebih selektif untuk membaca dan menerima riwayat yang dikemukakan oleh Imam as-Suyûthî terkhusus riwayat yang bersumber dari isrâîliyât.
2.      Penafsiran Qiraat
Surat Al-Fatihah[1]: 6
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Sedangkan  pada lafazh اﻟﺼﺮاط dari ayat di atas al-Suyuthi mengutip berbagai riwayat yang berkaitan dengan cara bacaan pada lafazh tersebut antara lain:
1) Menurut riwayat al-Hakim, al-Dzahabi dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW  mambaca lafazh tersebut menggunakan huruf shad اﻟﺼﺮاط
2) Menurut riwayat Sa’id bin al-Manshur, Abdu bin Humaid, al-Bukhari, al-Anbari dari ibn Abbas beliau membaca ayat tersebut dengan menggunakan sin اﻟﺴﺮاط
3) Menurut riwayat ibn al-Anbari dari al-Farra’ ia berkata imam Hamzah membaca lafazh tersebut dengan menggunakan huruf zai .اﻟﺰراط
Adapun makna dari ketiga lafazh tersebut adalah sebagaimana riwayat yang bersumber dari Waki’, Abdu bin Humaid, ibn Jarir, ibn al-Mundzir, al-Hakim dari Jabir bin Abdullah makna dari lafazh ﺻﺮ اط اﻟﻤﺴﺘﻘﯿﻢ adalah agama Islam, jalan yang lurus yaitu agama Allah.
3.      Penafsiran bil Ma’tsur
Surat Al-Fatihah[2]: 2
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
1. Menurut riwayat Abdur Razaq dalam (al-Musannaf), dan Hakim dan Tirmidzi dalam bab (Nawadir al-Ushul), al-Khottobi dalam (al-Gharib), dan al-Baihaqi dalam (al-Adab), ad-Dailamy dalam (Musnad al-Firdaus), ats-Tsa‟labi, dan Abdillah bin Amr bin al-Ashi, dari Rasulullah SAW beliau berkata: “al-Hamdu adalah puncaknya bersyukur, maka tidaklah bersyukur seorang hamba kepada Allah tanpa memujinya.”
2. Menurut riwayat Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dari jalur Ibn Abbas ia  berkata: “Alhamdulillah adalah kalimat syukur, jika seorang hamba berkata : Alhamdulillah. Allah berkata: telah memuji-Ku hambaKu.”
3. Menurut riwayat Ibn abi Hatim, dari ad-Dhohhak beliau berkata: “alHamdu (pujian) adalah selendangnya Ar-Rahman (Allah).”

4.      Penafsiran bil Ro’yi[12]
Waktu tertentu di siang hari tertentu, yaitu saat Nabi Musa a.s. menerima wahyu secara langsung dari Allah swt. dalam rangka mengalahkan para ahli sihir, sebagaimana diuraikan dalam QS. Thâhâ [20]: 59    
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَنْ يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
      Arinya: Berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (Kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik" (Qs. at-Thaha; 59)
Argumentasi yang dimuat oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam pengertian ayat di atas, menunjukkan bahwa Allah swt. melakukan sumpah-Nya untuk memberikan tanda kebesaran, memberikan tanda keagungan dan kekuasaan Allah swt. kepada Nabi Musa bahwa para ahli sihir tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab sihir para penyihir hanya mengelabui mata manusia, bahwa sihir yang diwujudkan melalui sebuah atau sesuatu itu nyata, padahal hal sebenarnya hakikat itu tidak ada.  Kemudian argumentasi Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat sumpah di atas berkenaan dengan kekuatan Allah swt berupa taqlid. Sebab dengan mentaqlid kan kekuasaan, hal ini berkaitan dengan penciptaan. Perwujudan alam yang menyinari bumi pada zaman Nabi Musa waktu itu adalah tanda taklimat yang diagungkan berdasarkan iqámati al-Hayát an-Nás. 
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan dari hujjah Imam Jalaluddin asSuyuthi dalam kitab tafsirnya yang berjudul ad-Durusu al-Mansur fi Tafsir alMa’tsur tentang ayat-ayat sumpah merupakan bukti dari ikhtisar tarjuman Alquran, yang lebih banyak menggunakan metode tafsir al-Ma’tsur dibandingkan dengan metode tafsir bi ra’yi. Hal ini disebabkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi lebih menekankan pada pendekatan kontekstual antara Alquran dengan Alquran serta Alquran dan hadis. Namun bila terjadi kebuntuan, maka Imam Jalaluddin asSuyuthi menggunakan kaidah ra’yi yang berintenskan pada qaulu ashhábi an Nabi dan qaulu Tabi’in.  
5.      Penafsiran Fiqih
Surat Annisa[4]: 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Ayat tersebut menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan:
a. Haram shalat bagi orang yang dalam keadaan mabuk
b. Haram shalat bagi orang-orang yang sedang berhadats besar
c. Hukum melakukan tayammum bagi orang yang sakit, musafir
d. Wajib berwudhu atau tayammum bagi orang-orang yang bersentuh antara kulit laki-laki dan perempuan yang tidak mahrom
e. Wajib berwudhu bagi orang-orang yang buang air
f. Tata cara bertayammum.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi ketika menafsirkan ayat di atas mengemukakan beberapa riwayat baik yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat maupun yang berkaitan dengan kandungan ayat tersebut, sebagian dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut riwayat ‘Abdu ibn Humaid, Abu Daud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, ibn abi Hatim, al-Nuhas dari Ali ibn Abi berkata:  “Abdul Rahman ibn Auf membuat makanan untuk kami dan dia mengajak kami makan dan memberi minum khamar untuk kami, kemudian kami melaksanakan shalat dan saya membaca ﻗﻞ ﯾﺂﯾﮭﺎ اﻟﻜﺎﻓﺮون ﻻأﻋﺒﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺒﺪون.وﻧﺤﻦ ﻧﻌﺒﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺒﺪون ketika saya membaca kalimat yang ketiga maka Allah menurunkan ayat tersebut.
2. Menurut riwayat ibn al-Mundzir dari Ikrimah dalam menjelaskan ayat tersebut ia berkata ”ayat tersebut diturunkan kepada Abu bakar, Umar, Ali, Abdul Rahman ibn ‘Auf, dan  Sa’ad, pada suatu hari Ali membuatkan makanan dan minuman untuk mereka dan mereka memakan dan meminumnya, kemudian Ali shalat maghrib bersama mereka dan iamembaca surat al-Kafirun sampai selesai, akan tetapi pada ayat terakhir Ali membacanya
Dengan .ﻟﱠﯿﺲ ِﻟﻰِ ْدﯾﻦ َوﻟﱠﯿﺲ ﻟﻜﻢ دﯾﻦ ketika dia membaca kalimat tersebut maka Allah menurunkan ayat 43 surat al-Nisa tersebut.
3. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, Abu Daud, al-Nasa’i, al-Nuhas, al-Baihaqi dalam sunannya dari ibn Abbas, firman Allah dalam surat al-Nisa tersebut telah di Nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 90.
4. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, ibn Abi Hatim, al-Nuhas, dari ibn Abbas ia berkata, firman Allah tentang haram shalat  bagi orang yang mabuk telah di nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 6.
5. Menurut riwayat al-Faryabi, Abdu ibn Humaid, ibn Jarir, ibn al-Mundzir, ibn abi Hatim dari al-Dhahhak, yang dimaksud dengan lafazh اﻟﺨﻤﺮ pada ayat tersebut bukanlah mabuk karena khamar, akan tetapi yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah haram shalat bagi seseorang yang baru bangun sehingga ia mengetahui apa yang ia ucapkan.
6. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, ibn Jarir dari beberapa sumber dari ibn Abbas menjelaskan bahwa firman Allah وﻻﺟﻨﺒﺎ اﻻ ﻋﺎﺑﺮى ﺳﺒﯿﻞ maksudnya adalah janganlah kamu melaksanakan shalat sedang kamu dalam keadaan berhadats besar sehingga kamu menemukan air, jika kamu tidak mendapatkannya maka boleh shalat dengan cara bertayammum.
7. Menurut riwayat Abdun ibn Humaid dari Mujahid ia berkata ”tidak boleh melewati masjid bagi orang yang berhadats besar dan orang yang sedang haid.
8. Menurut riwayat ibn Sa’ad, Abdu ibn Jabir, ibn Jarir, al-Thabrani dalam sunannya dari al-Asla’ ia berkata: Saya pernah menemani Rasulullah dan kami satu tunggangan, dan pada malam itu beliau menyuruhku untuk shalat, dan saya menjawab Saya sedang junub ya Rasul, mendengar jawaban saya, beliau terdiam sejenak dan seketika itu Jibril turun menyampaikan ayat tersebut. Setelah itu Rasulullah menyuruhku untuk bertayammum dan beliau mengajari Saya tata cara tayammum dengan cara mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan debu.
9. Menurut riwayat ibn Jarir dari ibn Abbas berkata tidak dilarang  bagi seseorang yang sedang haidh dan yang berhadats besar melewati masjid selama tidak duduk di dalamnya.
10. Menurut riwayat ibn al- Mundzir, ibn Abi Hatim, dari Mujahid maksud dari ayat وإن ﻛﻨﺘﻢ ﻣﺮﺿﻰ ia berkata: Ayat tersebut diturunkan kepada seorang laki-laki dari kaum anshar yang sedang sakit parah yang tidak mampu untuk berdiri, sedang dia hendak berwudhu dan dia tidak memiliki pembantu, kemudian dia mendatangi Rasulullah dan menceritakan hal itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut.
11. Menurut riwayat ibn abi Syaibah dari Sa’id ibn Jabir dan Mujahid mereka berkata :“Untuk orang-orang yang sedang sakit parah dan kebetulan dia sedang berhadats besar, maka hukumnya sama dengan orang yang sedang musafir yang tidak menemukan air yakni diperbolehkan bertayammum.
12. Menurut riwayat al-Syafi’i dalam kitab al-Umm, Abdul Razzaq, ibn al-Mundzir, dan al-Baihaqi dari ibn ‘Umar ia berkata: seseorang yang mencium istrinya dan menyentuhnya itu termasuk juga dalam kategori mulamasah (menyentuh), maka seseorang yang mencium istri nya atau menyentuhnya maka wajib berwudhu jika hendak shalat.
13. Menurut riwayat Abdul Razzaq, Sa’id ibn Manshur, ibn Abi Syaibah, ibn Jarir, ibn al-Mundzir, ibn Abi Hatim dari beberapa sumber mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayatأوﻻﻣﺴﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء adalah bersetubuh.

6.      Penafsiran Teologi
Surat Al-Fatihah[1]: 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan lafaz ﻣﻠﻚ pada ayat tersebut mengutip beberapa riwayat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menurut riwayat Al-Tirmidzi, ibn Abi Ad-Dunya, ibn al-Anbari mereka menemukan dalam kitab al-Mashohif dari ibn Salamah bahwa Rasulullah SAW membaca ayat tersebut dengan cara membaca pendek pada huruf mim tanpa memakai alif. Al-Anbari juga menerima dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Thalhah, al-Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin ‘Auf, Mu’az bin Jabal mereka membacanya dengan ﻣﻠﻚ tanpa menggunakan alif.
2) Menurut riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab Zuhud, al Tirmidzi Abi Daud, ibn al-Anbari dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Usman mereka membacanya dengan menggunakan alif setelah mim. Hal yang sama juga telah diungkapkan oleh Said bin Mantsur, Abi Daud dalam kitab al Mashohif dari bapaknya bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Usman membaca ayat tersebut dengan panjang pada huruf mim.
Adapun pengertian lafazh malik tersebut jika dibaca panjang pada huruf mim maka maknanya adalah bahwa Allah yang mengatur segala urusan pada hari kiamat, sedangkan jika dibaca pendek maka maknanya adalah Allah yang mengatur segala urusan baik di dunia maupun di akhirat, baik yang bersifat larangan maupun perintah.
7.      Penafsiran Sosiologi
Surat Al-Hujarat[49]: 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang lakilaki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Ayat ini menceritakan tentang larangan memperolok-olokkan dan berburuk sangka terhadap orang lain. Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya mengemukakan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut sebagai berikut:
1. Menurut riwayat Ibn Abi Hatim dari Muqatil r.a. ayat tersebut diturunkan kepada satu kelompok dari Bani Tamim yang memperolok-olokkan Bilal, Salman, Ammar, Khabbab, Shuhaib, ibn Fuhairah, Salim maula abi Hudzaifah.
2. Menurut riwayat Ahmad, Abdu ibn Humaid, al-Bukhari dalam kitab al-Adab, Abu Daud, al-Turmudzi, Nasa’i, ibn Majah, Abu Ya’la, ibn Jarir,ibn al-Mundzir, al-Baghawi dalam kitab Mu’jamnya, ibn Hibban, al-Syairazi dalam kitab al-Alqab, al-Thabrani, ibn al-Sinni dam kitab ‘amal al-yaum wa al-lailah, dan dishahihkan oleh al-Hakim, ibn Murdawaih, al-Baihaqi dalam kitab Syu’bu al-Iman dari Abi Jubairah ibn al-Dhahhaq r.aز beliau berkata: lafaz وﻻ ﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب dalam ayat tersebut diturunkan kepada Bani Salmah, ketika itu Rasulullah datang ke Madinah dan menjumpai segolongan laki-laki yang memiliki banyak nama, saat itu salah seorang memanggil yang lain, mendengar panggilan tersebut seorang yang lain mengadu kepada Rasulullah SAW dan menyatakan jika yang dipanggil tersebut tidak senang dengan panggilannya. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.
3. Menurut riwayat 'Abdu ibn Humaid ibn al-Mundzir dari ‘Atha, makna firman Allah yang berbunyi وﻻ ﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب adalah misalnya seseorang memanggil orang lain dengan panggilan yang tercela seperti:
ﻛﻠﺐ ﯾﺎ ﺣﻤﺎر ﯾﺎ ﺧﻨﺰﯾﺮ ﯾﺎ
4. Menurut riwayat Ibn al-Mundzir dari ibn Umar ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ﻣﻦ ﻗﺎل ﻷﺧﯿﮫ ﻛﺎﻓﺮ ﻓﻘﺪ ﺑﺎء ﺑﺎ أﺣﺪھﻤﺎ ان ﻛﺎن ﻛﻤﺎ ﻗﺎل واﻻ رﺟﻌﺖ ﻋﻠﯿﮫ
Artinya: Barang siapa yang mengatakan kafir kepada saudaranya, maka keduanya telah saling menghina jika pernyataan itu benar. Tetapi jika perkataan tersebut salah maka perkataan tersebut kembali kepada orang yang mengatakan kafir.

PENUTUP
Kesimpulan
Setelah melalui berbagai penjelasan di atas, penulis dapat menarik pendapat bahwa dikarangnya kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur adalah kitab yang dikarang sebagai respon dari kitab yang telah ia karang sebelumnya, Turjumanul Quran. Dan keterangan lebih lanjut menyatakan bahwa kitab ini adalah ringkasan dari dikaragnya kitab Turjumanul Quran. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa latar belakang yang menjadi acuan utama ditulisnya kitab Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur adalah adanya ketidak puasan pada as-Suyuthi mengenai kitab Turjumanul Quran yang dianggapnya terlalu panjang. Sehingga ia mengarang sebuah kitab sebagai ringkasan dari kitab tersebut dan ia beri nama Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur.
Lebih lanjut, dari berbagai rujukan kitab ini digolongkan sebagai kitab bi alMa’tsur. Setelah proses pembacaan dan adanya penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tafsir as-Suyuthi digolongkan ke dalam tafsir bi al-Ma’tsur. Hal ini disebabkan karena dalam kitabnya, as-Suyuthi memasukkan berbagai jalur riwayat yang beliau dapatkan. Riwayat dari Nabi, Sahabat, maupun Tabi‟in. Selain itu, as-Suyuthi juga memasukkan beberapa jalur periwayatan yang ia dapat dari berbagai kitab yang telah dikarang pada masa di atasnya.
Di sisi lain, selain penyebutan riwayat dalam model penafsirannya, dalam metode yang digunakan juga tidak ada penyebutan mengenai adanya campur tangan ra‟yu dari as-Suyuthi. Dan setelah melalui proses pembacaan, proses penafsiran kitab ini sepenuhnya adalah tafsir yang didapat melalui riwayat.
DAFTAR PUSTAKA
-          Mahrani, Sri. 2011. “Metode Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Menafsirkan   Al- Qur’an”. Skripsi. UIN Sultan Syarif Kasim Riau
-          S. Batubara, M. Ismail . 2016. “Konsistensi Imam Jalaluddin As-Suyuthi Menafsirkan Ayat-Ayat Sumpah”. Tesis. UIN Sumatera Utara Medan.
-          Yaldi, Yusri. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang.
-          Husnul Hakim, Ahmad. 2013. “Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir”. Depok: eLSiQ
-          Al-Suyuthi, Jalaluddin. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz



[1] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Hal 69
[2] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang.  Hal 71
[3] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Hal 75
[4] Al-Suyuthi menutup tulisannya pada tarikh khulafa hingga al-Mutawakkil II. Adapun yang berkuasa pada saat beliau wafat tahun 911 H adalah al-Mutawakkil III yang merupakan khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Mesir
[5] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz. Hal 358
[6] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz. Hal. 359
[7] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz. Hal. 360
[8] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz. Hal. 361
[9] A. Husnul Hakim. 2013. “Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir”. Depok : eLSiQ. Hal. 132-133
[10] A. Husnul Hakim. 2013. “Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir”. Depok : eLSiQ. Hal. 134-135

[11] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, h. 89-91.
[12] Muhammad Ismail Shaleh Batubara, 2016,” Konsistensi Imam Jalaluddin As-Suyuthi Menafsirkan Ayat Ayat Sumpah, (Pascasarjana Pendidikan Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam), Tesis, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan. h. 105-106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Islamisasi Makanan

Mukhammad Muti’ur Ridho (Ushuluddin Semestester 5B) Judul Buku       :Indahnya Fiqih Praktis Makanan Penulis              : Abu Ub...