Kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur
Imam Jalaluddin As-Suyuti
PENDAHULUAN
Secara garis besar, kitab tafsir terbagi dalam dua pembagian, yakni
bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Kitab yang menjadi fokus pembahasan penulis
dalam makalah ini adalah kitab yang dikarang oleh Imam As-Suyuthi yang berjudul
Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir alMa’tsur. Kitab ini digolongkan sebagai kitab
yang menafsirkan ayat al-Quran dengan bi al-Ma’tsur. Fokus pembahasan dalam makalah
ini adalah metode penafsiran yang digunakan oleh Imam As-Suyuthi sehingga
kitabnya disebut sebagai kitab bi al-Ma’tsur.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Penulis
Beliau bernama Abdurrahman bin Kamal bin Abu Bakr bin Muhammad bin
Sabiquddin bin Fajr bin Utsman bin Nadiruddin Hamam al-Hudhairi as-Suyûthî.
Jalaluddin adalah laqab beliau dan Abu Fadl kunyah-nya. Sedangkan
al-Hudhairi, sebagaimana dijelaskan al-Suyuthidalam kitabnya Husnûl
Muhậdharah merupakan pe-nisbat-an kepada Hudhairiyyah, satu daerah
di Baghdad yang merupakan kota kelahiran buyutnya. Adapun nama al-Suyuthidinisbatkan
kepada propinsi Asyut di negara Mesir dan merupakan tempat kelahiran beliau.
Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di
distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah
Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun, ada keterangan lain yang menyebutkan
bahwa ayahnya berdarah Arab.
Beliau
lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan bulan Rajab tahun 849 H atau 1445 M.
Ketika ayahnya wafat, beliau masih berusia 5 tahun 7 bulan dan telah hafal
al-Qur’an hingga surat al-Tahrîm. Selepas ayahnya mangkat, pengasuhannya
diserahkan kepada beberapa pihak, di antaranya Kamal bin Hamam (Pengarang Fathûl
Qadîr), di bawah pengawasannya, Imam al-Suyuthimampu mengkhatamkan
al-Qur’an pada usia kurang dari 8 tahun serta telah hafal beberapa kitab kecil
antara lain; Umdatul Ahkậm, Minhâj Nawâwi, Alfiah ibn Malîk, Minhâj Baidlâwi
dll.
Ketika
menuntut ilmu, Imam al-Suyuthitidak hanya belajar di satu tempat, tetapi banyak
melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negara untuk menemui ulama-ulama besar.
Negara-negara yang telah dikunjunginya adalah Mesir, Syam, Yaman, India,
Takrur, dan Hijaz. Adapun tempat-tempat yang telah dikunjunginya di Mesir
adalah al-Fayum, Dimyat, al-Mahalah, dan lain-lain.
Pada
usia 16 tahun (864 H), beliau memulai pengembaraan keilmuannya. Menurut
penuturan muridnya, Al-Dawudi, tidak kurang dari 51 guru (Syeikh) beliau datangi, dari berbagai disiplin ilmu. Beliau belajar
ilmu Faraidl dari ahli Faraidl di zamannya, Syeikh Syahabudddin
as-Syarmisaji. Berguru Fiqh kepada Alamaddin al-Bulqiny hingga tahun 878
H. Belajar Ulûmul al-Qur’an dan Fiqh kepada Syarafuddin
al-Manawy. Darinya beliau belajar al-Minhâj, Syarh Bahjah dan Tafsîr
Baidlâwi. Kemudian belajar hadîts kepada Taqiyuddin al-Syabli
al-Hanafi selama 4 tahun. Selanjutnya berguru Tafsîr, Ushûl, Lughah, Ma’ậni
dll. selama 14 tahun kepada Syeikh Mahyaddin al-Kafiyaji. Selain itu, beliau
juga sering sima’an kepada beberapa syeikh, yang kalau dihitung kurang
lebih 150 Syeikh beliau datangi bersama rekannya Syamsuddin al-Syahawi dan Ali
al-Asymuni, di antaranya; syeikh Syaifuddin al-Hanafi, syeikh Sairafi, syeikh
Syamsuddin al-Marzabani dan lain-lain.[1]
Menginjak usia 40 tahun, beliau
mengasingkan diri dari urusan keduniaan dan lebih berkonsentrasi dalam
beribadah kepada Allah SWT. Benar-benar pengunduran diri secara total, sehingga
seolah-olah tidak mengenal siapapun di dunia ini. Beliau berhenti menulis,
meninggalkan majlis fatwa, dan pengajaran setelah 22 tahun bergelut dalam dunia
tersebut. Namun beliau mengungkapkan alasan pengunduran dirinya ini dalam
sebuah buku berjudul at-Tanfis. Beliau tinggal di Raudhatul Miqyas, dan
tidak berpindah dari sana hingga akhir hayatnya. Beliau menghembuskan nafas
terakhirnya pada hari Jum’at bertepatan dengan 17 Jumadil Ula di Raudhatul
Miqyas setelah mengalami sakit selama seminggu akibat pembengkakan pada tangan
kirinya pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari. Dimakamkan di daerah Husy Qushun
samping Bab Qurafa.
B.
Guru dan Karya al-Suyuthi
Imām as-Suyûthî tidak hanya
menguasai satu macam ilmu, tetapi ia menguasai tujuh macam ilmu, yakni tafsir,
hadits, fiqih, nahwu, ma’ni, bayan, dan badi. Kitab hasil karya tangan
as-Suyûthî sangat banyak jumlah diberbagai bidang. Sebagian besar kitabnya
termasyhur di seluruh dunia, baik ditimur maupun dibarat. Hal ini dapat
dipahami karena ia menguasai berbagai ilmu dan kegiatan menulisnya telah ia
mulai sejak berusia 17 tahun. Dalam kegiatan menuntut ilmu beliau sudah banyak
mendatangi Ulama besar, diantaranya adalah:
a.
Jalaluddîn Al-Mahalli
b. Amâd bin
‘Ali Ayamsahi (ulama fara’id)
c.
Al-Bulqaini (ulama fiqih)
d. As-Syamani (ulama
hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu)
e.
Al-Izzu anbâli (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah)
Selain guru laki-laki, as-Suyûthî
juga meresap ilmu dari sejumlah ilmuwan perempuan, diantaranya:
a.
Aisyah binti Jarullah
b. Ummu Hani
binti Abul Hasan
c.
Shalihah binti ‘Ali
d. Niswan binti
Abdullah Al-Kanani
Dalam berkarya, beliau sangat produktif,
tidak satu disiplin ilmupun beliau tinggalkan kecuali beliau menyusunnya
menjadi satu manuskrip yang berharga, ini dikuatkan muridnya, ad-Dawadi dalam
biografinya. Bahkan dalam menghasilkan karya yang tergolong sangat cepat,
menempatkannya sebagai ilmuan tangguh di jamannya. Kata ad-Dawadi, “Aku menyaksikan Syeikh (Imam Suyuthi),
beliau menulis dalam satu hari sampai 3 buku yang disusun dan diterbitkan”.
Hingga tahun 904 H atau 7 tahun sebelum wafatnya, 538 karya beliau hasilkan
mencakup bidang ilmu tafsir, hadits, musthalah, fiqh, ushul fiqh &
tasawwuf, lughah, nahwu dan tashrif, ma’ani, bayan dan badi’, dan sejarah atau
tarikh.
Pada usia 40 tahun Ia mengundurkan diri dari
masyarakat ramai untuk memamfa’atkan seluruh perhatiannya untuk studi dan
menulis. Hasil kerja keras beliau itu adalah berupa buku buku tebal yang
terdiri dari beberapa jilid sampai buku-buku yang lebih kecil yang seluruhnya
kurang lebih berjumlah 600 (enam Ratus) judul.
Berikut ini kutipkan sebagian karya-karya
Imam Suyûthî:
a.
Bidang tafsir & ulumul
Qur’an, di antaranya Tafsîr Jalâlain, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Al-Durr al-Mansûr fî Tafsîr bil Ma’tsûr,
Libab an-Nuqul fi Asbâb al-Nuzûl, dan
Al-Alfiah fî Qirâtil al-Asyr.
b.
Bidang hadits, di antaranya Al-Jam’i al Kabîr, Tadrîbu ar-Râwi,
Al-Ahadîts al-Manfiyah, Is’af al-Mubatha’ fi Rijâl al-Muwâtha’,
dan Jam’u al-Jawâmi’.
c.
Bidang fiqh, di antaranya Al-Isybah wa an-Nadhair, Jam’u al-Jawâmi’,
Al-Azhâr al-Giddhah fî Fiqh ar-Raudah,
Tasynif al-Asmâ bi Masâil al-Ijmâ’,
dan Al-Lawâmi’ al-Bawariq fi al-Jawâmi’
wa al-Fawariq.
d.
Bidang lughah atau Bahasa, di
antaranya Jam’u al-Jawâmi’, Al-Faridah fî
an-Nahwû wa at-Tashrîf wa al-Khât, dan Al-Fath
al-Qarib ‘ala ma’na al-Labib.
e.
Bidang ushul, bayan dan
tashawwuf, di antaranya Syarh al-Kawkab al-Waqad fi al-I’tiqad, ‘Uqud al-Jamad fî
al-Ma’âni wa al-Bayân, dan Muhtashar
al-Ahyâd.
B.
Kondisi Politik pada Masa al-Suyuthi
Merujuk pada masa hidup beliau dari tahun 849 hingga
911 H. Maka dapat diketahui bahwa al-Suyuthi melalui 6
periode khalifah mulai dari al-Mustakfi hingga al-Mutawakkil III. Dalam bidang
sejarah sendiri beliau menulis kitab berjudul Tarikh Khulafa. Pada kitab ini beliau menulis biografi para
khalifah mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga al-Mutawakkil II[4].
Al-Mustakfi III, Abu ar-Rabi' Sulaiman al-Mustakfi Billah
bin al-Mutawakkil 'Alallah lahir pada tahun 791 H menjadi khalifah pada tahun
825 hingga 854. Ia dilantik menjadi khalifah atas wasiat saudara kandungnya
al-Mu’tadhid III. al-Mu'tadhid III
menjadikan saudaranya sebagai khalifah sesudah dirinya dan pemimpin bagi kaum
muslimin. Semua ini dilakukan karena ia mengetahui tentang kebaikan agamanya,
keluhuran akhlak dan keadilannya. al-Mustakfi III memiliki kemampuan yang
mumpuni untuk menjadi khalifah. Al-Mustakfi III juga dinilai sebagai pribadi
yang memiliki nilai-nilai kesalehan. Sangat taat beragama dan dikenal ahli
ibadah. Banyak membaca al-Qur'an, banyak mengerjakan salat,
dan bermunajat kepada Allah. al-Mu'tadhid III menggambarkan perilaku saudaranya
itu sebagai berikut, Saya tidak pernah melihat sejak kecilnya Sulaiman
melakukan dosa besar."[5]
Al-Qaim
II, Abu al-Baqa Hamzah al-Qaim Biamrillah bin al-Mutawakkil 'Alallah menjadi
khalifah pada tahun 854 H hingga dilengserkan pada
tahun 859 H. Al-Qaim dikenal sangat pemberani dan keras, namun tidak
mampu menegakkan khilafah, kecuali beberapa sisinya saja. Dia terkenal kejam.
Sifat yang berbeda dengan saudara-saudaranya. ada masa pemerintahannya, Sultan
Malik azh-Zhahir Jaqmaq wafat pada awal tahun 857 H. Maka Utsman, anaknya dilantik menggantikannya dengan gelar
al-Manshur. Tetapi ia berkuasa begitu singkat, yaitu menjadi sultan hanya satu
setengah bulan saja. Penyebabnya ialah karena kekuasaanya direbut oleh Inal
bahkan Inal menangkapnya. Kemudian khalifah mengangkat Inal sebagai sultan pada
Rabiul awal. etelah itu terjadi perseteruan antara dia dengan
khalifah. Perseteruan terjadi karena ada beda pendapat tentang pasukan.
Akibatnya pada bulan Jumadal akhir
tahun 859 H khalifah dilengserkan. Lalu dipenjarakan di Iskandariah sampai wafat pada tahun 683 H.[6]
Al-Mustanjid
II, Abu al-Mahasin Yusuf al-Mustanjid Billah bin al-Mutawakkil 'Alallah. Ia
menjadi khalifah pada tahun 859 H hingga 884 H. Ia dilantik sebagai khalifah
setelah saudaranya, Al-Qa'im II. Di antara catatan emas yang pernah
diperbuatnya adalah dia tidak pernah mengangkat seorang pun di Mesir untuk
menduduki posisi yang terkait dengan keagamaan seperti hakim, pengajar agama,
atau penanggung jawab lembaga keagamaan, melainkan mereka melakukan
perbaikan-perbaikan yang tampak dan hal itu berlanjut berbulan-bulan. Ia tidak
memberikan posisi kepada hakim atau syaikh karena harta.[7]
Al-Mutawakkil
II, Abu al-'Izz Abdul Aziz al-Mutawakkil 'Alallah bin Ya'qub bin al-Mutawakkil
'Alallah. Lahir pada tahun 819 H menjadi khalifah pada tahun 884 H hingga
wafatnya pada tahun 903 H. Ketika Al-Mustanjid II
menderita sakit dalam waktu lama, ia mewasiatkan kekhalifahan kepadanya. Maka
hari Senin, 16 Muharram 884 H, ia langsung dilantik sebagai khalifah
setelah al-Mustanjid wafat. Pelantikannya dihadiri oleh sultan, para hakim dan
para pembesar. Al-Mutawakkil II dibesarkan secara terhormat, banyak dimintai
pendapat. Akhlaknya yang mulia membuat dia sangat dicintai masyarakat dan para
pembesar. Dikenal sebagai khalifah yang rendah hati, perilakunya menyejukkan,
dan wajahnya selalu ceria saat bertemu siapa pun. Ia juga memiliki wawasan yang
luas, banyak menggeluti ilmu. Dia dinikahkan oleh pamannya Al-Mustakfi III dengan putrinya sendiri yang kemudian
melahirkan anak yang saleh. Dengan demikian ia adalah Bani Hasyim di tengah Bani Hasyim.[8]
Dari
biografi singkat khalifah-khalifah yang terakam dalam kitabnya, dapat
disimpulkan bahwa al-Suyuthi hidup sebagian besar pada masa yang cenderung
stabil dan mendukung untuk pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
C.
Gambaran Umum al-Durr al-Mansur
Kitab ini disusun pertama kali pada
tahun 898 H, yang seluruhnya sebanyak 8 jilid. Kitab ini telah dicetak oleh
beberapa penerbit, antara lain, al-Maimuniyah, Kairo, sebanyak 6 jilid, dibawah
pengawasan Muhammad al-Zuhri al-Gamrawi, yang dipinggirnya terdapat kitab tanwir
al-Miqbas. Kemudian dicetak lagi Dar al-Fikr, Beirut, pada tahun 1403
H/1983 M.
Sebelum menulis kitab tafsir ini,
al-Suyuthi telah menulis kitab tafsir yang berjudul Majma’ al-Bahrain wa
Mathla’ al-Badrain Meski tidak ditemukan wujudnya secara keseluruhan. Di
dalamnya terdapat bentuk penafsiran bi al-manqul dan bi al-ma’qul, penetapan
hukum, makna-makna tersirat, juga pembahasan dari sisi kebahasaan, sehingga
seandainya kita tidak melihat kitab tafsir lainnya, maka tafsir ini sudah
mencukupi. Beliau juga menjadikan isi di kitap al-Itqan sebagai
mukaddimahnya.
Namun, setelah itu beliau menulis
kitab tafsir yang berisi penafsiran Rasulullah dan sahabat, yang keseluruhannya
tidak kurang dari tujuh belas ribuan hadis, baik yang marfu’ (sampai ke
Rasulullah) maupun mauquf (sampai ke sahabat). Kitab tafsirnya ini,
diberi judul Turjumah al-Qur’an.
Setelah
itu, beliau menulis lagi sebuah kitab tafsir yang diberi judul al-Durr
al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, yang merupakan ringkasan kitabnya turjuman
al-Qur’an. Dalam hal ini beliau menjelaskan dalam mukaddimahnya:
“Ketika saya selesai menyusun kitab
tafsir Tarjuman al-Quran, yaitu penafsiran yang didasarkan pada
Rasulullah dan sahabat, saya bermaksud untuk mentakhrij hadis-hadis yang ada
pada kitab tafsir Turjuman al-Qur’an tersebut. Juga memperpendek jalur
sanadnya, maka disusunlah tafsir al-Durr al-Mantsur ini dengan hanya
menyebutkan matannya tanpa memperpanjang jalur sanadnya, dan telah ditakhrij
dengan berpedoman pada kitab-kitab takhrij muktabar.”[9]
D.
Karakteristik Tafsir al-Durr al-Mantsur
Al-Suyuthi mengawali penafsirannya
dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang terkait dengan tempat turunnya surah
dan keutamaannya, serta keutamaan membacanya. Kemudian menyebutkan
riwayat-riwayat lainnya yang terkait dengan tempat turunnya surah dan
keutamaannya, serta keutamaan membacanya. Kemudian menyebutkan riwayat-riwayat
lainnya berkaitan dengan qira’at dan tafsirnya.
Kitab al-Durr al-Mantsur adalah
model kitab tafsir bil ma’tsur yang beraliran Ahl al-sunnah yang
paling banyak dibuang sanadnya. Dalam hal ini, al-Suyuthi tidak memberi alasan
yang jelas. Padahal, hal ini tidak lumrah di Jazirah Arab saat itu. Al-Suyuthi
juga mengutip beberapa riwayat yang berbeda-beda tentang qira’at yang
berbeda-beda tentang qira’at yang bermacam-macam hanya untuk satu ayat.
Al-Suyuthi memang sangat konsisten dalam
menjaga periwayatan dalam kitab tafsirnya ini, baik yang berasal dari
Rasulullah, sahabat maupun tabi’in, namun sayangnya beliau tidak menjelaskan
status riwayat-riwayat tersebut apakah shahih, hasan, dha’if, atau
bahkan maudhu. Seandainya ada yang dijelaskan kedhaifannya itupun sangat
sedikit. Alangkah baiknya jika al-Suyuthi menjelaskannya, sebab bagi si pembaca
tidak mungkin bisa mengetahui keshahihan hadis tersebut jika hanya satu sanad
saja yang tersisa, terlebih pada masa sekarang.
Ada banyak imam hadis yang beliau
ambil riwayatnya, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ahmad,
Abu Daud, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan lain-lain.
Yang sangat menonjol dari kitab
tafsir ini adalah bahwa penulisnya merupakan seorang muhaddis. Para ahli hadis
berpendapat, bahwa penyebutan sanad harus dibarengi dengan penguat. Jika tidak,
maka tidak akan dinukil di dalam kitab
tersebut. Demikian ini agar tidak masuk kisah-kisah israiliyat, riwayat-riwayat
yang maudhu’, juga kisah-kisah masa lalu yang sangat tidak logis, dan
bahkan di antaranya mencederai kemaksuman Rasul. Atas alasan inilah, maka perlu
adanya penjelasan yang memadai terkait dengan status hadis-hadis tersebut.
Sebagaimana layaknya kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur yang lain.
Sebagai buktinya, banyak ditemukan
kisah-kisah dan riwayat-riwayat israiliyat yang tidak disertai dalil-dalil dan
bahkan bertentangan dengan akal sehat, seperti kisah Harut dan Marut, kisah
putera Ibrahim yang disembelih, yang menurut kitab ini adalah Ishaq, kisah
Yusuf, Daud dan Sulaiman, Ilyas. Bahkan, al-Suyuthi terlalu berlebihan dalam
menuturkan riwayat-riwayat yang terkait dengan yang menimpa Nabi Ayyub, padahal
sebagian besar dari riwayat-riwayat tersebut tidak sahih dan kebanyakan dari
kisah-kisah israiliyat.[10]
Contoh Penafsiran Kitab
ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur
1.
Penafsiran
riwayat israiliyyat
Mengutip riwayat isrâîliyât
tanpa didiringi dengan kritikan, penjelasan ataupun komentar terhadap riwayat
tersebut.
Contoh penafsiran Imam
as-Suyûthî dalam menafsirkan surat Thaha [20]: 120;
و
أخرج عبد الرزاق و عبد بن حميد، و الحكيم الترمذى فى (نوادر الأصول) و إبن جرير، و
إبن المنذر، و إبن أبى حاتم، و أبو الشيخ، عن و هب بن منبه قال : لما أسكن الله
أدم الجنة وزوجته و نهاه عن الشجرة، كانت الشجرة عصونها متشعبة بعضها فى بعض، و
كان لها ثمر تأكله الملائكة لخلدهم، وهى الثمرة التى نهى الله أدم عنها وزوجته،
فلما أراد إبليس أن يستزلهما دخل فى جوف الحية، وكانت الحية لها أربع قوائم كأنها
بختية من أحسن دابة خلقها الله، فلم دخلت الحية الجنة خرج من جوفها إبليس، فأخذ من
الشجرة التى نهى الله أدم وزوجته عنها، فجاء بها إلى حواء فقال: انظرى إلى هذه
الشجرة، ماأطيب ريحها، و أطيب طعمها، و أحسن لونها! فأخذتها حواء فأكلتها، ثم ذهبت إلى أدم فقالت: انظر إلى هذه
الشجرة، ما أطيب ريحها، و أطيب طعمها، وأحسن لونها! فأكل منها أدم فبدت لهما
سواتهما، فدخل أدم فى جوف الشجرة، فناداه ربه: أين أنت ؟ قال: هأنذا يا رب. قال:
ألا تخرج؟ قال: أستحى منك يا رب. قال: اهبط إلى الأرض. ثم قال: يا حواء، غررت
عبدى، فإنك لا تحملين حملا إلا حملت كرها، فإذا أردت أن تضعى ما فى بطنك أشرفت على
الموت مرارا. وقال للحية: أنت الذى دخل الملعون فى جوفك حتى غر عبدى، أنت ملعون
لعنة، تتحول قوائمك فى بطنك، ولا يكون لك رزق إلا التراب، أنت عدو بنى أدم وهم
أعداؤك، أينما لقيت أحد منهم أخذت بعقبه، و حيث ما لقيك أحد منهم شدح رأسك، قيل
لوهب: وهل كانت الملائكة تأكل؟! قال: يفعل الله ما يشاء.[11]
Dalam mukaddimah
as-Suyûthî sudah mengatakan, untuk mempercepat sampai kepada maksud matan
dan tidak berpanjang-panjang, imam as-Suyûthî menghilangkan sanad dari
riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an,
demikian juga riwayat yang teridentifikasi bersumber dari isrâîliyât,
seperti riwayat yang penulis nukil, riwayat yang bersumber dari Tokoh Bani Ahl
al-Kitâb yang sudah masuk Islam, namun riwayat tersebut juga oleh mufassîr
Imam as-Suyûthî tidak mengiringinya dengan komentar ataupun penilaian terhadap
riwayat-riwayat.
Oleh
sebab itu penulis berkesimpulan penting sekali untuk mengungkapkan
riwayat-riwayat yang dinukil oleh Imam as-Suyûthî untuk menafsirkan al-Qur’an
yang dikutip dari riwayat-riwayat yang bersumber dari tokoh Ahl al-Kitâb
yang sudah masuk Islam, ataupun riwayat-riwayat yang teridentifikasi bersumber
dari tahayul dan khurafat Bani israil, sehingga pembaca tafsir al-Durr
Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr bisa mengetahui
dan lebih selektif untuk membaca dan menerima riwayat yang dikemukakan oleh
Imam as-Suyûthî terkhusus riwayat yang bersumber dari isrâîliyât.
2.
Penafsiran Qiraat
Surat
Al-Fatihah[1]: 6
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Sedangkan pada lafazh اﻟﺼﺮاط dari ayat di atas
al-Suyuthi mengutip berbagai riwayat yang berkaitan dengan cara bacaan pada
lafazh tersebut antara lain:
1) Menurut riwayat al-Hakim, al-Dzahabi dari Abi Hurairah bahwa
Rasulullah SAW mambaca lafazh tersebut
menggunakan huruf shad اﻟﺼﺮاط
2) Menurut riwayat Sa’id bin al-Manshur, Abdu bin Humaid,
al-Bukhari, al-Anbari dari ibn Abbas beliau membaca ayat tersebut dengan
menggunakan sin اﻟﺴﺮاط
3)
Menurut riwayat ibn al-Anbari dari al-Farra’ ia berkata imam Hamzah
membaca lafazh tersebut dengan menggunakan huruf zai .اﻟﺰراط
Adapun makna dari ketiga lafazh tersebut adalah sebagaimana riwayat
yang bersumber dari Waki’, Abdu bin Humaid, ibn Jarir, ibn al-Mundzir, al-Hakim
dari Jabir bin Abdullah makna dari lafazh ﺻﺮ اط اﻟﻤﺴﺘﻘﯿﻢ adalah agama Islam,
jalan yang lurus yaitu agama Allah.
3.
Penafsiran bil Ma’tsur
Surat
Al-Fatihah[2]: 2
الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
1. Menurut riwayat Abdur Razaq dalam (al-Musannaf), dan Hakim dan
Tirmidzi dalam bab (Nawadir al-Ushul), al-Khottobi dalam (al-Gharib), dan
al-Baihaqi dalam (al-Adab), ad-Dailamy dalam (Musnad al-Firdaus), ats-Tsa‟labi,
dan Abdillah bin Amr bin al-Ashi, dari Rasulullah SAW beliau berkata: “al-Hamdu
adalah puncaknya bersyukur, maka tidaklah bersyukur seorang hamba kepada Allah tanpa
memujinya.”
2. Menurut riwayat Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dari
jalur Ibn Abbas ia berkata:
“Alhamdulillah adalah kalimat syukur, jika seorang hamba
berkata : Alhamdulillah. Allah berkata: telah memuji-Ku hambaKu.”
3. Menurut riwayat Ibn abi Hatim, dari ad-Dhohhak beliau berkata: “alHamdu
(pujian) adalah selendangnya Ar-Rahman (Allah).”
Waktu tertentu di siang hari tertentu, yaitu saat Nabi Musa a.s.
menerima wahyu secara langsung dari Allah swt. dalam rangka mengalahkan para
ahli sihir, sebagaimana diuraikan dalam QS. Thâhâ [20]: 59
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ
وَأَنْ يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
Arinya: Berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (Kami dengan) kamu itu
ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari
sepenggalahan naik" (Qs. at-Thaha; 59)
Argumentasi
yang dimuat oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam pengertian ayat di atas,
menunjukkan bahwa Allah swt. melakukan sumpah-Nya untuk memberikan tanda
kebesaran, memberikan tanda keagungan dan kekuasaan Allah swt. kepada Nabi Musa
bahwa para ahli sihir tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab sihir para penyihir
hanya mengelabui mata manusia, bahwa sihir yang diwujudkan melalui sebuah atau
sesuatu itu nyata, padahal hal sebenarnya hakikat itu tidak ada. Kemudian argumentasi Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat sumpah di atas berkenaan dengan kekuatan
Allah swt berupa taqlid. Sebab dengan mentaqlid kan kekuasaan, hal ini
berkaitan dengan penciptaan. Perwujudan alam yang menyinari bumi pada zaman
Nabi Musa waktu itu adalah tanda taklimat yang diagungkan berdasarkan iqámati
al-Hayát an-Nás.
Dengan demikian
jelaslah bahwa tujuan dari hujjah Imam Jalaluddin asSuyuthi dalam kitab
tafsirnya yang berjudul ad-Durusu al-Mansur fi Tafsir alMa’tsur tentang
ayat-ayat sumpah merupakan bukti dari ikhtisar tarjuman Alquran, yang lebih
banyak menggunakan metode tafsir al-Ma’tsur dibandingkan dengan metode tafsir
bi ra’yi. Hal ini disebabkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi lebih menekankan pada
pendekatan kontekstual antara Alquran dengan Alquran serta Alquran dan hadis.
Namun bila terjadi kebuntuan, maka Imam Jalaluddin asSuyuthi menggunakan kaidah
ra’yi yang berintenskan pada qaulu ashhábi an Nabi dan qaulu Tabi’in.
5.
Penafsiran Fiqih
Surat
Annisa[4]: 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا
Ayat tersebut menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan
dengan:
a. Haram shalat bagi orang yang dalam keadaan mabuk
b. Haram shalat bagi orang-orang yang sedang berhadats besar
c. Hukum melakukan tayammum bagi orang yang sakit, musafir
d. Wajib berwudhu atau tayammum bagi orang-orang yang bersentuh antara kulit
laki-laki dan perempuan yang tidak mahrom
e. Wajib berwudhu bagi orang-orang yang buang air
f. Tata cara bertayammum.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi ketika menafsirkan ayat di atas
mengemukakan beberapa riwayat baik yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat
maupun yang berkaitan dengan kandungan ayat tersebut, sebagian dari riwayat
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut riwayat ‘Abdu ibn Humaid, Abu Daud, al-Turmudzi,
al-Nasa’i, ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, ibn abi Hatim, al-Nuhas dari Ali ibn Abi berkata: “Abdul Rahman ibn Auf membuat makanan untuk
kami dan dia mengajak kami makan dan memberi minum khamar untuk kami, kemudian kami
melaksanakan shalat dan saya membaca ﻗﻞ ﯾﺂﯾﮭﺎ اﻟﻜﺎﻓﺮون ﻻأﻋﺒﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺒﺪون.وﻧﺤﻦ ﻧﻌﺒﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺒﺪون ketika saya membaca kalimat
yang ketiga maka Allah menurunkan ayat tersebut.
2. Menurut riwayat ibn al-Mundzir dari Ikrimah dalam menjelaskan
ayat tersebut ia berkata ”ayat tersebut diturunkan kepada Abu bakar, Umar, Ali,
Abdul Rahman ibn ‘Auf, dan Sa’ad, pada
suatu hari Ali membuatkan makanan dan minuman untuk mereka dan mereka memakan
dan meminumnya, kemudian Ali shalat maghrib bersama mereka dan iamembaca surat
al-Kafirun sampai selesai, akan tetapi pada ayat terakhir Ali membacanya
Dengan .ﻟﱠﯿﺲ ِﻟﻰِ ْدﯾﻦ َوﻟﱠﯿﺲ ﻟﻜﻢ دﯾﻦ
ketika dia membaca kalimat tersebut maka Allah menurunkan ayat 43 surat al-Nisa
tersebut.
3. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, Abu Daud, al-Nasa’i, al-Nuhas,
al-Baihaqi
dalam sunannya dari ibn Abbas, firman Allah dalam surat al-Nisa tersebut
telah di Nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 90.
4. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, ibn Abi Hatim, al-Nuhas, dari
ibn Abbas ia berkata, firman Allah tentang haram shalat bagi orang yang mabuk
telah di nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 6.
5. Menurut riwayat al-Faryabi, Abdu ibn Humaid, ibn Jarir, ibn
al-Mundzir, ibn abi Hatim dari al-Dhahhak, yang dimaksud dengan lafazh اﻟﺨﻤﺮ pada ayat tersebut
bukanlah mabuk karena khamar, akan tetapi yang dimaksud oleh ayat tersebut
adalah haram shalat bagi seseorang yang baru bangun sehingga ia mengetahui apa
yang ia ucapkan.
6. Menurut riwayat Abdu ibn Humaid, ibn Jarir dari beberapa sumber
dari ibn Abbas menjelaskan bahwa firman Allah وﻻﺟﻨﺒﺎ اﻻ ﻋﺎﺑﺮى ﺳﺒﯿﻞ maksudnya adalah
janganlah kamu melaksanakan shalat sedang kamu dalam keadaan berhadats besar
sehingga kamu menemukan air, jika kamu tidak mendapatkannya maka boleh shalat
dengan cara bertayammum.
7. Menurut riwayat Abdun ibn Humaid dari Mujahid ia berkata ”tidak
boleh melewati masjid bagi orang yang berhadats besar dan orang yang
sedang haid.
8. Menurut riwayat ibn Sa’ad, Abdu ibn Jabir, ibn Jarir,
al-Thabrani dalam sunannya dari al-Asla’ ia berkata: Saya pernah menemani
Rasulullah dan kami satu tunggangan, dan pada malam itu beliau menyuruhku untuk
shalat, dan saya menjawab Saya sedang junub ya Rasul, mendengar jawaban saya,
beliau terdiam sejenak dan seketika itu Jibril turun menyampaikan ayat
tersebut. Setelah itu Rasulullah menyuruhku untuk bertayammum
dan beliau mengajari Saya tata cara tayammum dengan cara mengusap
wajah dan kedua tangan dengan menggunakan debu.
9. Menurut riwayat ibn Jarir dari ibn Abbas berkata tidak
dilarang bagi seseorang yang sedang
haidh dan yang berhadats besar melewati masjid selama tidak duduk di dalamnya.
10. Menurut riwayat ibn al- Mundzir, ibn Abi Hatim, dari Mujahid
maksud dari ayat وإن ﻛﻨﺘﻢ ﻣﺮﺿﻰ ia berkata: Ayat tersebut diturunkan kepada seorang laki-laki
dari kaum anshar yang sedang sakit parah yang tidak mampu untuk berdiri, sedang
dia hendak berwudhu dan dia tidak memiliki pembantu, kemudian dia mendatangi
Rasulullah dan menceritakan hal itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut.
11. Menurut riwayat ibn abi Syaibah dari Sa’id ibn Jabir dan
Mujahid mereka berkata :“Untuk orang-orang yang sedang sakit parah dan kebetulan
dia sedang berhadats besar, maka hukumnya sama dengan orang yang sedang musafir
yang tidak menemukan air yakni diperbolehkan bertayammum.
12. Menurut riwayat al-Syafi’i dalam kitab al-Umm, Abdul Razzaq,
ibn al-Mundzir, dan al-Baihaqi dari ibn ‘Umar ia berkata: seseorang yang mencium
istrinya dan menyentuhnya itu termasuk juga dalam kategori mulamasah
(menyentuh), maka seseorang yang mencium istri nya atau menyentuhnya maka wajib
berwudhu jika hendak shalat.
13. Menurut riwayat Abdul Razzaq, Sa’id ibn Manshur, ibn Abi
Syaibah, ibn Jarir, ibn al-Mundzir, ibn Abi Hatim dari beberapa sumber
mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayatأوﻻﻣﺴﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء adalah bersetubuh.
6.
Penafsiran Teologi
Surat
Al-Fatihah[1]: 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan lafaz ﻣﻠﻚ pada ayat tersebut
mengutip beberapa riwayat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menurut riwayat Al-Tirmidzi, ibn Abi Ad-Dunya, ibn al-Anbari
mereka menemukan dalam kitab al-Mashohif dari ibn Salamah bahwa Rasulullah SAW
membaca ayat tersebut dengan cara membaca pendek pada huruf mim tanpa memakai
alif. Al-Anbari juga menerima dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah SAW,
Abu Bakar, Umar, Thalhah, al-Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin ‘Auf, Mu’az bin
Jabal mereka membacanya dengan ﻣﻠﻚ tanpa menggunakan alif.
2) Menurut riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab Zuhud, al Tirmidzi
Abi Daud, ibn al-Anbari dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, Umar,
Usman mereka membacanya dengan menggunakan alif setelah mim. Hal yang sama juga
telah diungkapkan oleh Said bin Mantsur, Abi Daud dalam kitab al Mashohif
dari bapaknya bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Usman
membaca ayat tersebut dengan panjang pada huruf mim.
Adapun pengertian lafazh malik tersebut jika dibaca panjang
pada huruf mim maka maknanya adalah bahwa Allah yang mengatur segala urusan
pada hari kiamat, sedangkan jika dibaca pendek maka maknanya adalah Allah yang
mengatur segala urusan baik di dunia maupun di akhirat, baik yang bersifat
larangan maupun perintah.
7.
Penafsiran Sosiologi
Surat
Al-Hujarat[49]: 11
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا
مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ
الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang lakilaki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu
lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Ayat ini menceritakan tentang larangan memperolok-olokkan dan berburuk sangka terhadap orang lain. Imam Jalaluddin
al-Suyuthi dalam tafsirnya mengemukakan
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut sebagai
berikut:
1. Menurut riwayat Ibn Abi Hatim dari Muqatil r.a. ayat tersebut
diturunkan kepada satu kelompok dari Bani
Tamim yang memperolok-olokkan Bilal, Salman, Ammar,
Khabbab, Shuhaib, ibn Fuhairah, Salim maula abi Hudzaifah.
2. Menurut riwayat Ahmad, Abdu ibn Humaid, al-Bukhari dalam kitab
al-Adab, Abu Daud, al-Turmudzi, Nasa’i, ibn Majah, Abu Ya’la, ibn
Jarir,ibn al-Mundzir, al-Baghawi dalam kitab Mu’jamnya, ibn Hibban, al-Syairazi
dalam kitab al-Alqab, al-Thabrani, ibn al-Sinni dam kitab ‘amal al-yaum
wa al-lailah, dan dishahihkan oleh al-Hakim, ibn Murdawaih, al-Baihaqi
dalam kitab Syu’bu al-Iman dari Abi Jubairah ibn al-Dhahhaq r.aز beliau berkata: lafaz وﻻ ﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب dalam ayat tersebut
diturunkan kepada Bani Salmah, ketika itu
Rasulullah datang ke Madinah dan menjumpai segolongan
laki-laki yang memiliki banyak nama, saat itu salah
seorang memanggil yang lain, mendengar panggilan tersebut seorang yang
lain mengadu kepada Rasulullah SAW dan menyatakan jika yang dipanggil
tersebut tidak senang dengan panggilannya. Maka Allah menurunkan
ayat tersebut.
3. Menurut riwayat 'Abdu ibn Humaid ibn al-Mundzir dari ‘Atha,
makna firman Allah yang berbunyi وﻻ ﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب adalah misalnya
seseorang memanggil orang lain dengan panggilan yang tercela
seperti:
ﻛﻠﺐ ﯾﺎ ﺣﻤﺎر ﯾﺎ ﺧﻨﺰﯾﺮ ﯾﺎ
4. Menurut riwayat Ibn al-Mundzir dari ibn Umar ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ﻣﻦ
ﻗﺎل ﻷﺧﯿﮫ
ﻛﺎﻓﺮ ﻓﻘﺪ ﺑﺎء ﺑﮭﺎ
أﺣﺪھﻤﺎ
ان ﻛﺎن ﻛﻤﺎ ﻗﺎل واﻻ رﺟﻌﺖ ﻋﻠﯿﮫ
Artinya: Barang siapa yang mengatakan kafir kepada saudaranya,
maka keduanya telah saling menghina jika pernyataan itu benar. Tetapi jika
perkataan tersebut salah maka perkataan tersebut kembali kepada orang yang
mengatakan kafir.
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah melalui berbagai penjelasan di atas, penulis
dapat menarik pendapat bahwa dikarangnya kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir
al-Ma’tsur adalah kitab yang dikarang sebagai respon dari kitab yang telah ia karang
sebelumnya, Turjumanul Quran. Dan keterangan lebih lanjut menyatakan bahwa
kitab ini adalah ringkasan dari dikaragnya kitab Turjumanul Quran. Sehingga
penulis menyimpulkan bahwa latar belakang yang menjadi acuan utama ditulisnya
kitab Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur adalah adanya ketidak puasan pada
as-Suyuthi mengenai kitab Turjumanul Quran yang dianggapnya terlalu panjang.
Sehingga ia mengarang sebuah kitab sebagai ringkasan dari kitab tersebut dan ia
beri nama Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur.
Lebih lanjut, dari berbagai rujukan kitab ini
digolongkan sebagai kitab bi alMa’tsur. Setelah proses pembacaan dan adanya
penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tafsir as-Suyuthi digolongkan ke
dalam tafsir bi al-Ma’tsur. Hal ini disebabkan karena dalam kitabnya,
as-Suyuthi memasukkan berbagai jalur riwayat yang beliau dapatkan. Riwayat dari
Nabi, Sahabat, maupun Tabi‟in. Selain itu, as-Suyuthi juga memasukkan beberapa
jalur periwayatan yang ia dapat dari berbagai kitab yang telah dikarang pada
masa di atasnya.
Di sisi lain, selain penyebutan riwayat dalam model
penafsirannya, dalam metode yang digunakan juga tidak ada penyebutan mengenai
adanya campur tangan ra‟yu dari as-Suyuthi. Dan setelah melalui proses
pembacaan, proses penafsiran kitab ini sepenuhnya adalah tafsir yang didapat
melalui riwayat.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Mahrani,
Sri. 2011. “Metode Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Menafsirkan Al- Qur’an”. Skripsi. UIN Sultan Syarif Kasim Riau
-
S. Batubara, M. Ismail . 2016. “Konsistensi
Imam Jalaluddin As-Suyuthi Menafsirkan Ayat-Ayat Sumpah”. Tesis. UIN
Sumatera Utara Medan.
-
Yaldi, Yusri. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran
Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr
al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol
Padang.
-
Husnul Hakim, Ahmad. 2013. “Ensiklopedi
Kitab-Kitab Tafsir”. Depok: eLSiQ
-
Al-Suyuthi, Jalaluddin. 2004.“Tarikh Khulafa”.
Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz
[1] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam
Penafsiran Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr
Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis. Institut Agama Islam Negeri
Imam Bonjol Padang. Hal 69
[2] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam
Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis.
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Hal 71
[3] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam
Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis.
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Hal 75
[4] Al-Suyuthi menutup tulisannya pada tarikh
khulafa hingga al-Mutawakkil II. Adapun yang berkuasa pada saat beliau
wafat tahun 911 H adalah al-Mutawakkil III yang merupakan khalifah terakhir
Bani Abbasiyah di Mesir
[5] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi
al-Damardasy .Makkah : Nizar Mustofa al-Baz. Hal 358
[6] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar
Mustofa al-Baz. Hal. 359
[7] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar
Mustofa al-Baz. Hal. 360
[8] Jalaluddin al-Suyuthi. 2004.“Tarikh Khulafa”. Ditahqiq oleh Hamdi al-Damardasy .Makkah : Nizar
Mustofa al-Baz. Hal. 361
[11] Yusri Yaldi. 2015. “Isrâîliyât Dalam Penafsiran Kisah-Kisah dalam
Al-Qur’an (Studi Kitab Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fi Tafsîr al-Ma’tsûr)”.Tesis.
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, h. 89-91.
[12]
Muhammad Ismail Shaleh Batubara, 2016,” Konsistensi Imam Jalaluddin As-Suyuthi
Menafsirkan Ayat Ayat Sumpah, (Pascasarjana Pendidikan Islam Konsentrasi
Pendidikan Agama Islam), Tesis, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
h. 105-106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar