Senin, 08 Januari 2018

Tafsir Maudlu'i Ibadah "Wasiat"



PENDAHULUAN
Al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari awal kehidupan manusia, proses hidupnya hingga kematiannya. Dan hal yang selalu berhubungan dengan peristiwa kematian adalah harta peninggalan si mayat (orang yang meninggal) baik dari sisi pembagian ataupun siapa saja yang berhak menerima. Hal ini tidak jarang menimbulkan perselisihan antara orang-orang yang ditinggalkan (ahli waris).
Ditengah-tengah permasalahan ini hadir sebuah ketetapan hukum yang ini sebagai salah satu solusi atas permasalahan tersebut yaitu hukum wasiat. Yang mana wasiat ini harus dilaksanakan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris dengan ketetapan maksimal 1/3 dari harta yang ditinggalkan oleh si mayat. Wasiat memperbolehkan setiap orang untuk memiliki permintaan atas harta yang ditinggalkan, dalam artian kepada siapa pemberian harta diutamakan.
Akan tetapi dalam al-Qur'an, kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda, tidak hanya pesan menjelang kematian saja. Perbedaan ini disebabkan karena penggunaan kata-kata wasiat yang berbeda-beda dalam konteks permasalahannya. Pemahaman terhadap term wasiat yang komprehensif bisa didapat dengan menggunakan metode tematik dalam proses pengkajiannya. Tulisan ini ingin menjawab tentang apa saja ayat-ayat wasiat di dalam al-Qur'an urutan kronologi turunnya ayat-ayat tersebut serta penafsirannya.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wasiat
Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam. Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat yang diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang berwasiat, karena pada masa itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya memperlambangkan orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang.[1]
Dengan datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan wasiat yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat pada waktu itu. Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap menjadi sesuatu yang diperlukan dengan memperhatikan kerabat keluarga yang ditinggalkan.
Kata Wasiat termasuk kosa kata bahasa arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia. Dalam bahasa aslinya, bahasa arab wasiat itu bermakna perintah yang ditekankan. Kata wasiat berasal dari washaya yang artinya orang yang berwasiat menghubungkan harta bendanya waktu hidup dengan sesudah mati.
 Menurut Taqiyuddin artinya pembelanjaan harta dengan khusus sesudah mati.[2] Menurut Zainuddin Ali, wasiat ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.[3]
                 Wasiat adalah memberikan pesan, perintah, pengampunan, dan perwalian. Secara etimologi, ia diartikan sebagai janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya atau setelah meninggalnya.
Sebagian fuqaha mendefinisikan wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini, jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga sedang pemilikan yang diperoleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat mati. Ini dari satu segi, sedang dari segi lain, hibah itu berupa barang, sementara wasiat bisa berupa barang piutang atau manfaat.[4]

Di dalam Sunnah juga terdapat hadits-hadits berikut:
روي البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنه قال : قال رسول الله عليه وسلم : ما حق امرء مسلم له شيء يوصى فيه. يبيت ليلتين ألا ووصيتهمكتوبة عنده. قال ابن عمر : مامرت على ليلة منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقولو ذلك الا وعندي وصيتي.

                                                                                                                                         Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar r.a, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebaikannya.”

Ibnu ‘Umar berkata: Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.”

B.     Ayat-ayat tentang Wasiat (Analisis Makki-Madani)
                 Kata wasiat beserta derivasinya di dalam al-Qur'an disebut sebanyak 32 kali di dalam 13 surat, yang kesemuanya itu terbagi ke dalam empat periode turunnya al-Qur'an, yaitu:
Periode Makkah pertama terdiri dari surat al-‘Asr ayat 3 dan al- Balad ayat 17.
Periode Makkah kedua terdiri dari surat al-dzariyat ayat 53, Yasin ayat 50, dan Maryam ayat 31.
Periode Makkah ketiga terdiri dari surat al-An‘am ayat 144, al-An‘am 151, al-An‘am 152, al-An‘am 153, Luqman ayat 14, al-Syura ayat 13, al-Ahqaf ayat 15, dan al-‘Ankabut ayat 8.
Periode Madinah terdiri dari surat al-Baqarah ayat 132, al-Baqarah ayat 180, al-Baqarah ayat 182, al-Baqarah ayat 240, an-Nisa’ ayat 11, an-Nisa’ ayat 12, an-Nisa’ ayat 131, dan al-Ma’i dah ayat 106.
            Periode Makkah pertama tediri dari surat al-‘Ashr dan al-Balad. Pada periode ini, kata wasiat berarti nasihat atau pesan, yakni orang-orang yang beriman saling menasihati dan saling berpesan untuk kebenaran, kesabaran, dan berkasih sayang.
Periode Makkah kedua terdiri dari tiga surat. Pada surat al-dzariyat dan Yasin, orang yang berwasiat di sini adalah orang-orang muyrik dan melampaui batas. Adapun pada surat Maryam, yang berwasiat adalah Allah. Wasiat itu berisi perintah kepada Nabi Isa untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Periode Makkah ketiga terdiri dari lima surat, yaitu al-An‘am, Luqman,   al-Syura, al-Ahqaf, dan al-‘Ankabut, yang kesemuanya menjelaskan makna wasiat sebagai perintah dan larangan Allah.
            Terakhir, periode Madinah, terdiri dari tiga surat, yaitu, al- Baqarah, an-Nisa’, dan al-Ma’idah. Pada surat-surat tersebut, wasiat lebih cenderung kepada pengertian pesan yang disampaikan oleh seseorang menjelang kematiannya.

C.    Penafsiran Wasiat dalam Al-Qur'an
Wasiat di dalam al-Qur’an memiliki beberapa arti, yaitu pesan tentang kebaikan, pesan tentang keburukan, pesan tentang ketetapan Allah, perintah dan larangan Allah, serta pesan tentang harta.

a)      Wasiat dalam Arti Pesan tentang Kebaikan
Wasiat yang berarti pesan tentang kebaikan terdapat dalam surat al-‘Ashr ayat 3, surat al-Balad ayat 17 dan surat al-Baqarah ayat 132. Pada surat al-‘Ashr dan al-Balad, wasiat dilakukan oleh orang beriman, yakni saling menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran, serta berkasih sayang. Sedangkan pada surat al- Baqarah, dijelaskan bahwa yang berwasiat adalah Nabi Ibrahim. Beliau mewasiatkan agama, atau prinsip ajaran itu kepada anak- anaknya, yakni Ismail, Ishaq dan saudara-saudara mereka, demikian pula Nabi Ya’qub mewasiatkan kepada keturunannya

b)      Wasiat dalam Arti Pesan tentang Keburukan
Wasiat dalam arti pesan tentang keburukan hanya terdapat dalam surat al-Dzariyat ayat 53. Dalam ayat ini dijelaskan tentang keheranan Allah melihat perbuatan kaum musyrik dari setiap generasi yang selalu mendustakan para Nabi, seolah-olah mereka saling berwasiat tentang hal tersebut.

c)      Wasiat dalam Arti Ketetapan Allah
Wasiat dalam arti ketetapan Allah hanya terdapat dalam surat al- An‘am   144. Ayat ini merupakan sindiran Allah kepada kaum musyrikin yang mengharamkan binatang ternak dan mengatakan bahwa pengharaman tersebut dari Allah seakan-akan mereka menyaksikan ketika Allah menetapkan pengharaman itu.

d)     Wasiat dalam Arti Perintah dan Larangan Allah
Wasiat Allah dengan objek penerimanya adalah para nabi terdapat dalam dua surat. Pertama, wasiat dalam surat Maryam ayat 31 merupakan perintah Allah kepada Nabi Isa untuk melaksanakan shalat dan menunaikan shalat. Kedua, wasiat dalam surat asy-Syura ayat 13 berarti sebagai pesan Allah kepada semua Nabi untuk bersatu dan berjamaah serta melarang mereka dari perpecahan dan pertentangan.
Wasiat Allah dengan objek penerimanya adalah manusia secara umum terdapat dalam lima surat. Pada surat an-Nisa’ ayat 131, dijelaskan bahwa Allah berwasiat kepada umat yang diberi Kitab untuk bertaqwa dan melarang mereka untuk ingkar. Pada surat   al-An‘am   ayat   151-153,   wasiat   merujuk kepada   arti perintah dan larangan Allah yang menjadi prinsip-prinsip ajaran Islam.  Adapun  wasiat  Allah  dalam  surat  Luqman  ayat  14,  al- Ahqaf  ayat 15, dan  al-‘Ankabut  ayat  8,  yaitu  perintah  untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang tua selama kedua orang tua tersebut tidak menyuruh dalam hal maksiat kepada Allah.

e)      Wasiat dalam Arti Pesan tentang Harta
Wasiat  dalam  arti  pesan  tentang  harta  terdapat  dalam  surat  Yasin ayat 50, surat al-Baqarah ayat 180, 182, 240, surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan surat al-Ma’idah ayat 106. Wasiat dalam ayat-ayat tersebut dilakukan oleh orang yang hendak meninggal dan mempunyai harta yang banyak. Di dalam ayat tersebut pula terdapat wasiat Allah tentang masalah pembagian hak waris bagi anak-anak, orang tua, istri atau suami dari orang yang meninggal dunia tersebut serta kewajiban mendahulukan pembayaran hutang dan wasiat daripada hak waris. Selain itu, ada juga penjelasan tentang saksi ketika berwasiat, yaitu harus merupakan dua orang yang beriman dan adil.

Contoh:
1.      Q.S. Al Baqoroh[2]: 180-182
a)      Nash Ayat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
b)      Terjemah
180. diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
182. (akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[5].
c)      Arti Mufrodat
1)      الموت : tanda-tanda akan meninggal dunia
2)      المعروف : adil dan baik.
3)   أَصْلَحَ (Mendamaikan) : menyuruh orang yang Berwasiat Berlaku adil dalam Mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.
4)      خيراً : harta
d)     Tafsir
Wasiat adalah segala sesuatu yang diperintahkan untuk dikerjakan, yang hal tersebut diminta untuk dikerjakan pada waktu pemberi wasiat masih hidup atau setelah ia meninggal dunia, akan tetapi secara Uruf/ adat hal ini hanya dikhususkan bagi permintaan yang dilakukan oleh pemberi wasiat saat ia masih hidup untuk dilakukan setelah ia meninggal.[6]
Setelah Allah SWT menyebutkan tentang Qishas (yaitu dengan kematian) dan Diyat pada ayat sebelumnya, lalu Allah memberikan pengingat tentang Wasiat pada ayat ini dan penjelasan bahwa itu merupakan sesuatu yang telah Allah syariatkan kepada hambaNya, jelaslah munasabah ayat ini dan ayat sebelumnya, supaya setiap orang ingat dan memberikan Wasiat sebelum ajal menjemput dengan tiba-tiba sehingga meninggal dalam  keadaan belum berwasiat.[7]
Wasiat merupakan kewajiban bagi orang mu’min, ketika datang tanda-tanda bahwa ajal telah mendekat baik itu karena sakit atau lainnya sedang ia meninggalkan harta yang banyak bagi pewarisnya, maka hendaklah ia berwasiat untuk kedua orangtuanya dan keluarga dekatnya dengan sebagian hartanya secara adil tidak terlalu sedikit namu tidak juga terlalu banyak (para ulama berbeda pendapat tentang ukuran seberapa banyak seseorang dibolehkan untuk berwasiat. Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa ia berwasiat sebesar 1/5,  diriwayatkan dari Umar bahwa ia berwasiat 1/4, dan Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk berwasiat melebihi dari batasan 1/3 harta warisan sementara Abu Hanifah dan para sahabatnya membolehkan berwasiat dengan seluruh harta jika pewasiat tidak mempunyai ahli waris).[8]
Allah mewajibkan wasiat sebagai hak yang tetap bagi seorang mu’min yang bertaqwa kepada Allah dan mengimani kitabNya. Barangsiapa yang merubah wasiat baik itu saksi atau orang yang kepadanya diwasiatkan sesuatu setelah mendengar wasiat maka dia akan berdosa atas perubahan itu sementara orang yang berwasiat akan mendapatkan pahala atas wasiat yang ia berikan.
Merubah wasiat bisa dalam bentuk mengingkarinya atau mengurangi dari jumlah yang telah diwasiatkan dalam keadaan mengetahuinya.
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang merubahnya, hendaklah mereka berhati-hati dalam niat dan tindakan mereka, ini peringatan dari Allah supaya mereka terjauh dari Azab yang pedih.
Tidak termasuk merubah jika perubahan tersebut dilakukan demi kebenaran dan nasehat, seperti jika seseorang berwasiat dalam keadaan lupa atau khilaf baik itu sengaja atau tidak maka bagi yang mengetahuinya wajib untuk mengoreksinya antara pewasiat dan orang yang memperoleh wasiat atau antara pewasiat dan ahli warisnya dengan cara mengembalikan wasiat kepada aturan dan ukuran yang telah ditetapkan oleh syariah, tidak berdosa perubahan yang dilakukan dalam hal ini sesungguhnya Allah mengampuni bagi yang merubahnya dengan niat untuk membenarkan dan nasehat.[9]

e)      Hukum-hukum yang berkenaan dengan Wasiat.
1)      Jumhur ulama dan kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat mawarits dan hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Khorijah :
قال رسول الله صلعم: (إن الله قد أعطى لكل ذي حق حقه، فلا وصية لوارث)
Maka dengan itu kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orangtua dan keluarga dekat mansukh, Ibnu Katsir mengatakan: secaa ijma’ disepakati hal itu bahkan terlarang dengan hadits dari Amru bin Khorijah diatas[10].
2)      Para ulama sepakat bahwa bagi seseorang yang berwasiat dan ia mempunyai ahli waris untuk tidak mewasiatkan semua hartanya.[11]
3)      Seseorang yang berwasiat berhak untuk merubah wasiatnya bilamana itu diperlukan[12].
4)      Imam Empat madzhab dan imam al ‘Auzai berpendapat jika seseorang berwasiat kepada bukan keluarganya sedang keluarganya memerlukan maka itu adalah perbuatan yang buruk, tetapi wasiatnya tetap dibolehkan.[13]


2.      Q.S. Al Maidah[5]: 106
a)      Nash Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
b)     Terjemah
106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan Nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa[14]".
c)      Arti Mufrodat
1)      من غيركم : mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
2)      ضربتم في الأرض : kalian melakukan perjalanan.
3)      ان ارتبتم : jika kalian ragu
d)     Sebab turunnya Ayat
Ayat ini diturunkan karena sebab Tamim Ad Dari (yang pada waktu itu masih beragama Nashrani) dan ‘Adi bi Badda’. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas R.A bahwa Tamim Ad Dari dan ‘Adi bin Badda’ sedang dalam perjalanan serta ada seorang pemuda dari Bani Sahm bersama mereka, lalu pemuda tersebut meninggal di suatu tempat yang tidak ada orang muslimnya, sebelum meninggal pemuda itu berwasiat kepada mereka berdua, mereka pun mengembalikan harta pemuda tersebut kepada keluarganya sedang mereka menyembunyikan dan menjual sebagian perak berbalut emas yang diambil dari harta pemuda itu.
       Keluarga pemuda kehilangan perak yang mereka ambil dan menanyakannya kepada mereka, tetapi mereka menjawab bahwa mereka telah memberikan semua yang mereka bawa dari harta pemuda itu dan tidak menyembunyikan apa-apa.
       Mereka membawa masalah ini kepada Rasul lalu Rasulullah SAW meminta mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengambil sesuatu pun dari barang yang ditinggalkan pemuda itu.
       Beberapa lama kemudian perak tersebut diketemukan di Mekkah dan yang memilikinya mengatakan bahwa mereka membelinya dari Tamim dan ‘Adi, datanglah dua orang dari Bani Sahm dan bersumpah bahwa itu merupakan barang kepunyaan Bani Sahm dan mereka pun mengambil barang tersebut.[15] Kemudian Tamim Ad Dari masuk Islam dan berkata: benarlah Rasulullah SAW, saya yang mengambil perak dari pemuda itu.[16]
e)      Tafsir
Jika seseorang sedang melakukan perjalanan dan dalam keadaan menghadapi kematian lalu ia berwasiat kepada dua orang yang menurutnya adil untuk diberikan kepada mereka harta dan menunaikan wasiat, lalu pewasiat meninggal dunia. Jika ahli waris pewasiat meragukan dua orang tersebut maka hendaklah ahli waris menahan mereka dan meminta mereka untuk bersumpah bahwa mereka tidak berbohong dan menyembunyikan sesuatu setelah shalat Ashar seperti yang Rasulullah SAW lakukan pada kasus Tamim Ad Dari.[17]
Dan hendaknya bersumpah dengan mengatakan kebenaran, tidak terpengaruh dengan imbalan harta untuk berbohong dalam sumpahnya dan atau melindungi keluarganya, bila dilanggar maka akan berdosa dan mendapat hukumannya.
Jika terbukti bahwa mereka bersumpah palsu atau berkhianat maka hendaklah ada dua orang dari keluarga pewasiat yang sudah meninggal bersumpah atas hal tersebut dan dua orang yang bersumpah palsu tersebut diberikan hukuman untuk mengganti apa yang telah meraka ambil.[18]
f)       Kesimpulan Hukum[19]
1)      Anjuran untuk berwasiat dan perhatian terhadapnya baik itu dalam perjalanan atau tidak.
2)      Bersaksi atau bersumpah untuk menetapkan dan menjalankan wasiat.
3)      Pada asal hukumnya, saksi adalah dua orang Muslim.
4)      Boleh mengambil saksi dari non-muslim dalam keadaan darurat.
5)      Pemilihan waktu pelaksanaan sumpah yang tempat dengan harapan orang yang bersumpah akan berkata benar. Menurut sebagian besar ulama: yang dimaksud dalam ayat adalah setelah shalat Ashar karena umat yang beragama mengagungkan waktu tersebut dengan menjauhi kebohongan dan sumpah palsu. Dalam hadits Shohih disebutkan: (barangsiapa yang bersumpah dengan sumpah palsu setelah solat Asar maka ia akan menemui Allah dalam keadaan Allah murka atasnya).
6)      Jumlah harta yang disumpahkan: menurut Imam Malik tidak disumpah jika barangnya dibawah tiga dirham (diqiyaskan ke batasan hukuman mencuri) dan menurut Imam Syafi’i tidak disumpahkan jika hartanya dibawah dua puluh dinar (diqiyaskan ke zakat).

Ketentuan Dalam Wasiat
Jika sesudah mengeluarkan biaya jenazah dan membayarkan utang, harta peninggalan masih ada maka tindakan selanjutnya adalah membayarkan atau menyerahkan wasiat yang dibuat pewaris kepada pihak yang berhak. Adanya ketentuan tentang wasiat itu terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 180. Yang menyatakan wasiat untuk orang tua dan kerabat yang pada umumnya adalah ahli waris sebagaimana terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176.[20]
Diantara hukum wasiat adalah wasiat sah dalam batas sepertiga harta atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih dari sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas.[21] Dari Sa’ad bin Abi Waqash diperoleh hadits riwayat yang berbunyi:

الثلث والثلث كثير[22]
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”
Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta jika orang yang berwasiat tersebut mempunyai ahli waris, kecuali dengan izin mereka. Karena apa yang lebih dari sepertiga harta merupakan hak mereka. Sehingga, jika mereka mengizinkan apa yang lebih tersebut, maka wasiatnya menjadi sah. Izin para ahli waris tersebut diikrarkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Diantara hukum wasiat juga adalah wasiat dianjurkan bagi orang yang mempunyai harta melimpah dan ahli warisnya tidak memerlukannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat.”(al-Baqarah: 180).
Harta yang banyak yang kadarnya dikembalikan pada kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, orang yang hartanya sedikit dan para ahli warisnya membutuhkan harta tersebut hukumnya makruh jika ia berwasiat. Karena dengan demikian ia telah membelokkan hartanya dari para ahli warisnya kepada orang lain. Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah kepada Sa’ad bin Abi Waqqash RA.,
أنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس.
"Engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka melarat dan mengemis kepada orang-orang.” [23]

Termasuk dalam hukum wasiat adalah semua utang serta kewajiban syariat seperti zakat, haji, nazar dan kafarat yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan mayit harus didahulukan meskipun ia tidak berwasiat untuk membayarnya dahulu.
Dan berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad bahwa Ali RA. berkata, “Rasulullah menetapkan bahwa utang harus dibayar sebelum wasiat.” Penjelasan ini menunjukkan bahwa utang harus didahulukan dari wasiat. Begitu juga berdasarkan hadits yang sebutkan dalam kitab-kitab shahih:

أقضوا الله , فا الله أحق بالوفاء.
“Tunaikanlah kewajiban (utang) kepada Allah, karena kewajiban tersebut lebih berhak untuk ditunaikan.” [24]
Maka, berdasarkan ijma’ para ulama, penunaian kewajiban dimulai dari pembayaran utang, kemudian wasiat, dan terakhir pembagian warisan.
Wasiat merupakan perkara yang penting. Hal ini terlihat dari pengangkatan posisinya oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan mendahulukan penyebutannya dari hal-hal lain untuk menunjukkan rasa perhatian yang lebih dan dorongan untuk melaksanakannya selama wasiat tersebut sesuai dengan syari’at. Allah mengancam siapa saja yang meremehkan perkara wasiat ini atau menggantinya dengan tanpa ada alasan yang dapat diterima syara’. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah: 181).
Imam asy-Syaukani di dalam kitab tafsirnya berkata,” Makna mengganti adalah mengubah. Ini adalah ancaman bagi orang yang mengganti wasiat yang benar dan tidak menyimpang serta tidak menyebabkan kemudharatan. Hal itu bisa menimbulkaan dosa. Dan, orang yang berwasiat tidak bertanggung jawab atas penggantian itu, karena ia telah terlepas dari perbuatan itu dengan wasiatnya.”[25]
Apabila seseorang berwasiat untuk orang yang adil, lalu orang itu berubah menjadi fasik, maka wasiat tersebut hendaknya dicabut, sebagaimana jika seseorang menyandarkan wasiat kepadanya, maka hal itu tidak sah karena ia tidak tidak dapat dipercaya untuk mengurusnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i. Dari Hambali diperoleh dua pendapat. Hanafi berpendapat: apabila ia menjadi fasik maka dibantukan orang adil kepadanya. Sedangkan jika diberikan wasiat kepada orang fasik maka hakim bertindak menyelesaikan wasiat tersebut. Apabila hakim tidak bertindak menyelesaikannya maka sahlah wasiat itu.[26]
Wasiat disamping bersifat sosial, juga bersifat ibadah. Agar wasiat dapat terlaksana dengan baik, sesuai dengan hukum Islam, maka harus terpenuhinya syarat dan rukunnya. Ibnu Rusyd menyatakan, rukun wasiat ada 4, yaitu pemberi wasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan siqhat.[27] Sedangkan menurut Muhammad Jawad muqhniyah, rukun wasiat ada 4 yaitu redaksi wasiat, pemberi wasiat, penerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.[28]

KESIMPULAN
Dari keseluruhan ayat-ayat tentang wasiat, pengertian wasiat tidak hanya terfokus pada pesan seseorang menjelang kematiannya terkait tentang harta, melainkan ada beberapa makna lain yaitu pesan tentang kebaikan, pesan tentang keburukan, pesan tentang ketetapan Allah, perintah dan larangan Allah, serta pesan tentang harta.
Wasiat harta adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Wasiat itu sah dalam batas sepertiga harta atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih dari sepertiga harta. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta jika orang yang berwasiat tersebut mempunyai ahli waris, kecuali dengan izin mereka. Karena apa yang lebih dari sepertiga harta merupakan hak mereka. Sehingga, jika mereka mengizinkan apa yang lebih tersebut, maka wasiatnya menjadi sah. Izin para ahli waris tersebut diikrarkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqolani. 2003. Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, tahqiq Samir bin ‘Amir az Zuhairi.
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri. 2010. Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Marom. Terjemah oleh Nor Hasanuddin H.M Fauzi. Al Hidayah Publication: Kuala Lumpur.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-Hari. Depok. Gema Insani.
Ibnu Rusyd. 1989. Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, Juz II, Bairut: Dar Al-Jiil.
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Al-Husaini. 2005. Kifayatul Akhyar. Al-Haromain Jaya Indonesia.
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi. 2006. al Jami’liahkamil Quran. Muassasah Ar Risalah: Beirut.
Muhammad Jawad Muqhniyah. 2001. Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al Khamsah, terjemahan. Maskur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta.
Sayyid Sabiq. 1987. Fikih Sunnah Edisi 14. Bandung: Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Wahbah Az Zuhaili. 2009. Tafsir al Munir. Darul Fikr: Damsyik.
Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 10. Jakarta: Gema Insani.






                  


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 154.
[2]  Imam Taqiyuddin Abi Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Al-Haromain Jaya Indonesia, 2005, hlm. 31.
[3] Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 140.
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Edisi 14, Bandung: Alma’arif, 1987, Hlm. 230.
[5] Departemen Agama, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Syamil Cipta Media: Bandung, tt), hal 27
[6] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 93
[7] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10, Juz 1, hal 484.
[8] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 96
[9] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10, Juz 1, hal 485
[10] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, Cet 10, Juz 1, hal 485
[11] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 97
[12] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 97
[13] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir,Cet. 10, Juz 1, hal 488
[14] Departemen Agama, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Syamil Cipta Media: Bandung, tt), hal 125
[15] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 8, hal 255
[16] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10, Juz 4, hal 101
[17] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir,(Cet 10, Juz 4), hal 102.
[18] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 8, hal 260.
[19] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, Cet 10, Juz 4, hal 108.
[20] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.283.
[21] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Depok, Gema Insani, 2006, hlm. 547.
[22] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, Depok: Gema Insani, 2011, hlm.156-157.
[23] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 549.
[24] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 553.
[25] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 554.
[26] Al-‘Alamah bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Harsyimi, hlm. 312.
[27] Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, Juz II, Bairut: Dar Al-Jiil, 1989, hlm. 374.
[28] Muhammad Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al Khamsah, terjemahan. Maskur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: 2001, hlm. 504.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Islamisasi Makanan

Mukhammad Muti’ur Ridho (Ushuluddin Semestester 5B) Judul Buku       :Indahnya Fiqih Praktis Makanan Penulis              : Abu Ub...