PENDAHULUAN
Al-Quran sebagai pedoman utama
umat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari awal kehidupan
manusia, proses hidupnya hingga kematiannya. Dan hal yang
selalu berhubungan dengan peristiwa kematian adalah harta peninggalan si mayat
(orang yang meninggal) baik dari sisi pembagian ataupun siapa saja yang berhak
menerima. Hal ini tidak jarang menimbulkan perselisihan antara orang-orang
yang ditinggalkan (ahli waris).
Ditengah-tengah permasalahan ini
hadir sebuah ketetapan hukum yang ini sebagai salah satu solusi atas
permasalahan tersebut yaitu hukum wasiat. Yang mana wasiat ini harus dilaksanakan
sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris dengan ketetapan maksimal 1/3
dari harta yang ditinggalkan oleh si mayat. Wasiat memperbolehkan setiap orang
untuk memiliki permintaan atas harta yang ditinggalkan, dalam artian
kepada siapa pemberian harta diutamakan.
Akan tetapi dalam al-Qur'an, kata
wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda, tidak hanya
pesan menjelang kematian saja. Perbedaan ini disebabkan karena penggunaan
kata-kata wasiat yang berbeda-beda dalam konteks permasalahannya. Pemahaman
terhadap term wasiat yang komprehensif bisa didapat dengan menggunakan metode
tematik dalam proses pengkajiannya. Tulisan ini ingin menjawab tentang apa saja
ayat-ayat wasiat di dalam al-Qur'an urutan kronologi turunnya ayat-ayat
tersebut serta penafsirannya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wasiat
Wasiat merupakan salah satu
perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam. Misalnya dalam masyarakat pada
masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat yang diberikan kepada orang lain yang
tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang berwasiat, karena pada
masa itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya memperlambangkan
orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang.[1]
Dengan datangnya agama Islam
tidaklah menghapus dan membatalkan wasiat yang sudah diterima secara umum oleh
masyarakat pada waktu itu. Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama
itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap
menjadi sesuatu yang diperlukan dengan memperhatikan kerabat keluarga yang
ditinggalkan.
Kata Wasiat termasuk kosa kata bahasa arab yang
sudah menjadi bahasa Indonesia. Dalam bahasa aslinya, bahasa arab wasiat itu
bermakna perintah yang ditekankan. Kata wasiat berasal dari washaya yang artinya
orang yang berwasiat menghubungkan harta bendanya waktu hidup dengan sesudah
mati.
Menurut Taqiyuddin artinya pembelanjaan harta dengan
khusus sesudah mati.[2]
Menurut Zainuddin Ali, wasiat ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari
seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan
hingga pemilik harta meninggal dunia.[3]
Wasiat adalah memberikan pesan,
perintah, pengampunan, dan perwalian. Secara etimologi, ia diartikan sebagai
janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa
hidupnya atau setelah meninggalnya.
Sebagian fuqaha mendefinisikan wasiat itu adalah pemberian
hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini,
jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang diperoleh dari hibah
itu terjadi pada saat itu juga sedang pemilikan yang diperoleh dari wasiat itu
terjadi setelah orang yang berwasiat mati. Ini dari satu segi, sedang dari segi
lain, hibah itu berupa barang, sementara wasiat bisa berupa barang piutang atau
manfaat.[4]
Di dalam Sunnah juga terdapat hadits-hadits berikut:
روي
البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنه قال : قال رسول الله عليه وسلم : ما حق امرء مسلم له شيء يوصى فيه.
يبيت ليلتين ألا ووصيتهمكتوبة عنده. قال ابن عمر : مامرت على ليلة منذ سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقولو ذلك الا وعندي وصيتي.
“Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar r.a, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebaikannya.”
Ibnu ‘Umar berkata: Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.”
B.
Ayat-ayat
tentang Wasiat (Analisis Makki-Madani)
Kata wasiat beserta derivasinya
di dalam al-Qur'an disebut sebanyak 32 kali di dalam 13 surat, yang kesemuanya
itu terbagi ke dalam empat periode turunnya al-Qur'an, yaitu:
Periode Makkah pertama terdiri dari
surat al-‘Asr ayat 3 dan al- Balad ayat 17.
Periode Makkah kedua terdiri dari
surat al-dzariyat ayat 53, Yasin ayat 50, dan Maryam ayat 31.
Periode Makkah ketiga terdiri dari
surat al-An‘am ayat 144, al-An‘am 151, al-An‘am 152, al-An‘am 153, Luqman ayat
14, al-Syura ayat 13, al-Ahqaf ayat 15, dan al-‘Ankabut ayat 8.
Periode Madinah terdiri dari
surat al-Baqarah ayat 132, al-Baqarah ayat 180, al-Baqarah ayat 182, al-Baqarah
ayat 240, an-Nisa’ ayat 11, an-Nisa’ ayat 12, an-Nisa’ ayat 131, dan al-Ma’i
dah ayat 106.
Periode
Makkah pertama tediri dari surat al-‘Ashr dan al-Balad. Pada periode ini, kata
wasiat berarti nasihat atau pesan, yakni orang-orang yang beriman saling
menasihati dan saling berpesan untuk kebenaran, kesabaran, dan berkasih sayang.
Periode Makkah kedua terdiri dari
tiga surat. Pada surat al-dzariyat dan Yasin, orang yang berwasiat di sini
adalah orang-orang muyrik dan melampaui batas. Adapun pada surat Maryam, yang
berwasiat adalah Allah. Wasiat itu berisi perintah kepada Nabi Isa untuk
mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Periode Makkah ketiga terdiri dari
lima surat, yaitu al-An‘am, Luqman, al-Syura,
al-Ahqaf, dan al-‘Ankabut, yang kesemuanya menjelaskan makna wasiat sebagai
perintah dan larangan Allah.
Terakhir,
periode Madinah, terdiri dari tiga surat, yaitu, al- Baqarah, an-Nisa’, dan
al-Ma’idah. Pada surat-surat tersebut, wasiat lebih cenderung kepada pengertian
pesan yang disampaikan oleh seseorang menjelang kematiannya.
C.
Penafsiran
Wasiat dalam Al-Qur'an
Wasiat di dalam al-Qur’an memiliki beberapa
arti, yaitu pesan tentang kebaikan, pesan tentang keburukan, pesan tentang
ketetapan Allah, perintah dan larangan Allah, serta pesan tentang harta.
a)
Wasiat dalam Arti Pesan tentang Kebaikan
Wasiat yang berarti pesan tentang kebaikan
terdapat dalam surat al-‘Ashr ayat 3, surat al-Balad ayat 17 dan surat al-Baqarah
ayat 132. Pada surat al-‘Ashr dan al-Balad, wasiat dilakukan oleh orang
beriman, yakni saling menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi
kesabaran, serta berkasih sayang. Sedangkan pada surat al- Baqarah, dijelaskan
bahwa yang berwasiat adalah Nabi Ibrahim. Beliau mewasiatkan agama, atau
prinsip ajaran itu kepada anak- anaknya, yakni Ismail, Ishaq dan
saudara-saudara mereka, demikian pula Nabi Ya’qub mewasiatkan kepada
keturunannya
b)
Wasiat dalam Arti Pesan tentang Keburukan
Wasiat dalam arti pesan tentang keburukan
hanya terdapat dalam surat al-Dzariyat ayat 53. Dalam ayat ini dijelaskan
tentang keheranan Allah melihat perbuatan kaum musyrik dari setiap generasi
yang selalu mendustakan para Nabi, seolah-olah mereka saling berwasiat tentang
hal tersebut.
c)
Wasiat dalam Arti Ketetapan Allah
Wasiat dalam arti ketetapan Allah hanya
terdapat dalam surat al- An‘am 144. Ayat ini merupakan sindiran Allah kepada
kaum musyrikin yang mengharamkan binatang ternak dan mengatakan bahwa
pengharaman tersebut dari Allah seakan-akan mereka menyaksikan ketika Allah
menetapkan pengharaman itu.
d)
Wasiat dalam Arti Perintah dan Larangan Allah
Wasiat Allah dengan objek penerimanya adalah
para nabi terdapat dalam dua surat. Pertama, wasiat dalam surat Maryam ayat 31
merupakan perintah Allah kepada Nabi Isa untuk melaksanakan shalat dan
menunaikan shalat. Kedua, wasiat dalam surat asy-Syura ayat 13 berarti sebagai
pesan Allah kepada semua Nabi untuk bersatu dan berjamaah serta melarang mereka
dari perpecahan dan pertentangan.
Wasiat Allah dengan objek penerimanya adalah
manusia secara umum terdapat dalam lima surat. Pada surat an-Nisa’ ayat 131,
dijelaskan bahwa Allah berwasiat kepada umat yang diberi Kitab untuk bertaqwa
dan melarang mereka untuk ingkar. Pada surat
al-An‘am ayat 151-153,
wasiat merujuk kepada arti perintah dan larangan Allah yang
menjadi prinsip-prinsip ajaran Islam.
Adapun wasiat Allah
dalam surat Luqman
ayat 14, al- Ahqaf
ayat 15, dan al-‘Ankabut ayat
8, yaitu perintah
untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang tua selama kedua orang tua
tersebut tidak menyuruh dalam hal maksiat kepada Allah.
e)
Wasiat dalam Arti Pesan tentang Harta
Wasiat
dalam arti pesan
tentang harta terdapat
dalam surat Yasin ayat 50, surat al-Baqarah ayat 180,
182, 240, surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan surat al-Ma’idah ayat 106. Wasiat
dalam ayat-ayat tersebut dilakukan oleh orang yang hendak meninggal dan
mempunyai harta yang banyak. Di dalam ayat tersebut pula terdapat wasiat Allah
tentang masalah pembagian hak waris bagi anak-anak, orang tua, istri atau suami
dari orang yang meninggal dunia tersebut serta kewajiban mendahulukan
pembayaran hutang dan wasiat daripada hak waris. Selain itu, ada juga
penjelasan tentang saksi ketika berwasiat, yaitu harus merupakan dua orang yang
beriman dan adil.
Contoh:
1.
Q.S. Al Baqoroh[2]: 180-182
a)
Nash Ayat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ
فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا
فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
b)
Terjemah
180. diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat
itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
182. (akan tetapi) Barangsiapa khawatir
terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa,
lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[5].
c)
Arti Mufrodat
1)
الموت : tanda-tanda akan
meninggal dunia
2)
المعروف : adil dan baik.
3) أَصْلَحَ (Mendamaikan) : menyuruh orang yang Berwasiat Berlaku adil
dalam Mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.
4)
خيراً : harta
d)
Tafsir
Wasiat adalah
segala sesuatu yang diperintahkan untuk dikerjakan, yang hal tersebut diminta
untuk dikerjakan pada waktu pemberi wasiat masih hidup atau setelah ia
meninggal dunia, akan tetapi secara Uruf/ adat hal ini hanya dikhususkan
bagi permintaan yang dilakukan oleh pemberi wasiat saat ia masih hidup untuk
dilakukan setelah ia meninggal.[6]
Setelah Allah
SWT menyebutkan tentang Qishas (yaitu dengan kematian) dan Diyat pada ayat
sebelumnya, lalu Allah memberikan pengingat tentang Wasiat pada ayat ini dan
penjelasan bahwa itu merupakan sesuatu yang telah Allah syariatkan kepada
hambaNya, jelaslah munasabah ayat ini dan ayat sebelumnya, supaya setiap
orang ingat dan memberikan Wasiat sebelum ajal menjemput dengan tiba-tiba
sehingga meninggal dalam keadaan belum
berwasiat.[7]
Wasiat
merupakan kewajiban bagi orang mu’min, ketika datang tanda-tanda bahwa ajal
telah mendekat baik itu karena sakit atau lainnya sedang ia meninggalkan harta
yang banyak bagi pewarisnya, maka hendaklah ia berwasiat untuk kedua
orangtuanya dan keluarga dekatnya dengan sebagian hartanya secara adil tidak
terlalu sedikit namu tidak juga terlalu banyak (para ulama berbeda pendapat
tentang ukuran seberapa banyak seseorang dibolehkan untuk berwasiat.
Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa ia berwasiat sebesar 1/5, diriwayatkan dari Umar bahwa ia berwasiat
1/4, dan Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk
berwasiat melebihi dari batasan 1/3 harta warisan sementara Abu Hanifah dan
para sahabatnya membolehkan berwasiat dengan seluruh harta jika pewasiat tidak
mempunyai ahli waris).[8]
Allah
mewajibkan wasiat sebagai hak yang tetap bagi seorang mu’min yang bertaqwa
kepada Allah dan mengimani kitabNya. Barangsiapa yang merubah wasiat baik itu
saksi atau orang yang kepadanya diwasiatkan sesuatu setelah mendengar wasiat maka
dia akan berdosa atas perubahan itu sementara orang yang berwasiat akan
mendapatkan pahala atas wasiat yang ia berikan.
Merubah wasiat
bisa dalam bentuk mengingkarinya atau mengurangi dari jumlah yang telah
diwasiatkan dalam keadaan mengetahuinya.
Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang merubahnya,
hendaklah mereka berhati-hati dalam niat dan tindakan mereka, ini peringatan
dari Allah supaya mereka terjauh dari Azab yang pedih.
Tidak termasuk
merubah jika perubahan tersebut dilakukan demi kebenaran dan nasehat, seperti
jika seseorang berwasiat dalam keadaan lupa atau khilaf baik itu sengaja atau
tidak maka bagi yang mengetahuinya wajib untuk mengoreksinya antara pewasiat
dan orang yang memperoleh wasiat atau antara pewasiat dan ahli warisnya dengan
cara mengembalikan wasiat kepada aturan dan ukuran yang telah ditetapkan oleh
syariah, tidak berdosa perubahan yang dilakukan dalam hal ini sesungguhnya
Allah mengampuni bagi yang merubahnya dengan niat untuk membenarkan dan
nasehat.[9]
e)
Hukum-hukum yang berkenaan dengan Wasiat.
1)
Jumhur ulama dan kebanyakan ahli tafsir
berpendapat bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat mawarits
dan hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Khorijah :
قال
رسول الله صلعم: (إن الله قد أعطى لكل ذي حق حقه، فلا وصية لوارث)
Maka dengan itu
kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orangtua dan keluarga dekat mansukh,
Ibnu Katsir mengatakan: secaa ijma’ disepakati hal itu bahkan terlarang
dengan hadits dari Amru bin Khorijah diatas[10].
2)
Para ulama sepakat bahwa bagi seseorang yang
berwasiat dan ia mempunyai ahli waris untuk tidak mewasiatkan semua hartanya.[11]
3)
Seseorang yang berwasiat berhak untuk merubah
wasiatnya bilamana itu diperlukan[12].
4)
Imam Empat madzhab dan imam al ‘Auzai
berpendapat jika seseorang berwasiat kepada bukan keluarganya sedang
keluarganya memerlukan maka itu adalah perbuatan yang buruk, tetapi wasiatnya
tetap dibolehkan.[13]
2.
Q.S. Al
Maidah[5]: 106
a)
Nash Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا
عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي
الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ
الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا
وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ
الْآثِمِينَ
b) Terjemah
106. Hai orang-orang yang beriman, apabila
salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan Nama Allah,
jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah
ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib
kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya
Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa[14]".
c)
Arti Mufrodat
1)
من غيركم :
mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan,
bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
2)
ضربتم في
الأرض : kalian melakukan perjalanan.
3)
ان ارتبتم : jika
kalian ragu
d)
Sebab turunnya
Ayat
Ayat ini diturunkan karena sebab Tamim Ad
Dari (yang pada waktu itu masih beragama Nashrani) dan ‘Adi bi Badda’.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas R.A bahwa Tamim
Ad Dari dan ‘Adi bin Badda’ sedang dalam perjalanan serta ada
seorang pemuda dari Bani Sahm bersama mereka, lalu pemuda tersebut meninggal di
suatu tempat yang tidak ada orang muslimnya, sebelum meninggal pemuda itu
berwasiat kepada mereka berdua, mereka pun mengembalikan harta pemuda tersebut
kepada keluarganya sedang mereka menyembunyikan dan menjual sebagian perak
berbalut emas yang diambil dari harta pemuda itu.
Keluarga pemuda kehilangan perak yang
mereka ambil dan menanyakannya kepada mereka, tetapi mereka menjawab bahwa
mereka telah memberikan semua yang mereka bawa dari harta pemuda itu dan tidak
menyembunyikan apa-apa.
Mereka membawa masalah ini kepada Rasul
lalu Rasulullah SAW meminta mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengambil
sesuatu pun dari barang yang ditinggalkan pemuda itu.
Beberapa lama kemudian perak tersebut
diketemukan di Mekkah dan yang memilikinya mengatakan bahwa mereka membelinya
dari Tamim dan ‘Adi, datanglah dua orang dari Bani Sahm dan
bersumpah bahwa itu merupakan barang kepunyaan Bani Sahm dan mereka pun
mengambil barang tersebut.[15]
Kemudian Tamim Ad Dari masuk Islam dan berkata: benarlah Rasulullah SAW, saya
yang mengambil perak dari pemuda itu.[16]
e)
Tafsir
Jika seseorang sedang melakukan perjalanan
dan dalam keadaan menghadapi kematian lalu ia berwasiat kepada dua orang yang
menurutnya adil untuk diberikan kepada mereka harta dan menunaikan wasiat, lalu
pewasiat meninggal dunia. Jika ahli waris pewasiat meragukan dua orang tersebut
maka hendaklah ahli waris menahan mereka dan meminta mereka untuk bersumpah
bahwa mereka tidak berbohong dan menyembunyikan sesuatu setelah shalat Ashar
seperti yang Rasulullah SAW lakukan pada kasus Tamim Ad Dari.[17]
Dan hendaknya bersumpah dengan mengatakan
kebenaran, tidak terpengaruh dengan imbalan harta untuk berbohong dalam
sumpahnya dan atau melindungi keluarganya, bila dilanggar maka akan berdosa dan
mendapat hukumannya.
Jika terbukti bahwa mereka bersumpah palsu
atau berkhianat maka hendaklah ada dua orang dari keluarga pewasiat yang sudah
meninggal bersumpah atas hal tersebut dan dua orang yang bersumpah palsu
tersebut diberikan hukuman untuk mengganti apa yang telah meraka ambil.[18]
f)
Kesimpulan Hukum[19]
1)
Anjuran untuk berwasiat dan perhatian
terhadapnya baik itu dalam perjalanan atau tidak.
2)
Bersaksi atau bersumpah untuk menetapkan dan
menjalankan wasiat.
3)
Pada asal hukumnya, saksi adalah dua orang
Muslim.
4)
Boleh mengambil saksi dari non-muslim dalam
keadaan darurat.
5)
Pemilihan waktu pelaksanaan sumpah yang
tempat dengan harapan orang yang bersumpah akan berkata benar. Menurut sebagian
besar ulama: yang dimaksud dalam ayat adalah setelah shalat Ashar karena umat
yang beragama mengagungkan waktu tersebut dengan menjauhi kebohongan dan sumpah
palsu. Dalam hadits Shohih disebutkan: (barangsiapa yang bersumpah dengan
sumpah palsu setelah solat Asar maka ia akan menemui Allah dalam keadaan Allah
murka atasnya).
6)
Jumlah harta yang disumpahkan: menurut Imam Malik
tidak disumpah jika barangnya dibawah tiga dirham (diqiyaskan ke batasan
hukuman mencuri) dan menurut Imam Syafi’i tidak disumpahkan jika
hartanya dibawah dua puluh dinar (diqiyaskan ke zakat).
Ketentuan Dalam Wasiat
Jika sesudah mengeluarkan biaya jenazah dan membayarkan utang,
harta peninggalan masih ada maka tindakan selanjutnya adalah membayarkan atau
menyerahkan wasiat yang dibuat pewaris kepada pihak yang berhak. Adanya
ketentuan tentang wasiat itu terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat
180. Yang menyatakan wasiat untuk orang tua dan kerabat yang pada umumnya
adalah ahli waris sebagaimana terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176.[20]
Diantara hukum wasiat adalah wasiat sah dalam batas sepertiga harta
atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih dari
sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib,
dan Ibnu Abbas.[21]
Dari Sa’ad bin Abi Waqash diperoleh hadits riwayat yang berbunyi:
الثلث
والثلث كثير[22]
“Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”
Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta jika orang yang
berwasiat tersebut mempunyai ahli waris, kecuali dengan izin mereka. Karena apa
yang lebih dari sepertiga harta merupakan hak mereka. Sehingga, jika mereka
mengizinkan apa yang lebih tersebut, maka wasiatnya menjadi sah. Izin para ahli
waris tersebut diikrarkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Diantara hukum wasiat juga adalah wasiat dianjurkan bagi orang yang
mempunyai harta melimpah dan ahli warisnya tidak memerlukannya. Hal ini berdasarkan
firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat.”(al-Baqarah:
180).
Harta yang banyak yang kadarnya dikembalikan pada kebiasaan
masyarakat. Oleh sebab itu, orang yang hartanya sedikit dan para ahli warisnya
membutuhkan harta tersebut hukumnya makruh jika ia berwasiat. Karena dengan
demikian ia telah membelokkan hartanya dari para ahli warisnya kepada orang
lain. Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah kepada Sa’ad bin Abi Waqqash RA.,
أنك
أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس.
"Engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya
lebih baik daripada meninggalkan mereka melarat dan mengemis kepada
orang-orang.” [23]
Termasuk dalam hukum wasiat adalah semua utang serta kewajiban
syariat seperti zakat, haji, nazar dan kafarat yang merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan mayit harus didahulukan meskipun ia tidak berwasiat untuk
membayarnya dahulu.
Dan berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad bahwa Ali RA.
berkata, “Rasulullah menetapkan bahwa utang harus dibayar sebelum wasiat.”
Penjelasan ini menunjukkan bahwa utang harus didahulukan dari wasiat. Begitu
juga berdasarkan hadits yang sebutkan dalam kitab-kitab shahih:
أقضوا
الله , فا الله أحق بالوفاء.
“Tunaikanlah kewajiban (utang) kepada Allah, karena kewajiban
tersebut lebih berhak untuk ditunaikan.” [24]
Maka, berdasarkan ijma’ para ulama, penunaian kewajiban dimulai
dari pembayaran utang, kemudian wasiat, dan terakhir pembagian warisan.
Wasiat merupakan perkara yang penting. Hal ini terlihat dari
pengangkatan posisinya oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan mendahulukan
penyebutannya dari hal-hal lain untuk menunjukkan rasa perhatian yang lebih dan
dorongan untuk melaksanakannya selama wasiat tersebut sesuai dengan syari’at.
Allah mengancam siapa saja yang meremehkan perkara wasiat ini atau menggantinya
dengan tanpa ada alasan yang dapat diterima syara’. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah: 181).
Imam asy-Syaukani di dalam kitab tafsirnya berkata,” Makna
mengganti adalah mengubah. Ini adalah ancaman bagi orang yang mengganti wasiat
yang benar dan tidak menyimpang serta tidak menyebabkan kemudharatan. Hal itu
bisa menimbulkaan dosa. Dan, orang yang berwasiat tidak bertanggung jawab atas
penggantian itu, karena ia telah terlepas dari perbuatan itu dengan wasiatnya.”[25]
Apabila seseorang berwasiat untuk orang yang adil, lalu orang itu
berubah menjadi fasik, maka wasiat tersebut hendaknya dicabut, sebagaimana jika
seseorang menyandarkan wasiat kepadanya, maka hal itu tidak sah karena ia tidak
tidak dapat dipercaya untuk mengurusnya. Demikian menurut pendapat Maliki,
Syafi’i. Dari Hambali diperoleh dua pendapat. Hanafi berpendapat: apabila ia
menjadi fasik maka dibantukan orang adil kepadanya. Sedangkan jika diberikan
wasiat kepada orang fasik maka hakim bertindak menyelesaikan wasiat tersebut.
Apabila hakim tidak bertindak menyelesaikannya maka sahlah wasiat itu.[26]
Wasiat disamping bersifat sosial, juga bersifat ibadah. Agar wasiat
dapat terlaksana dengan baik, sesuai dengan hukum Islam, maka harus terpenuhinya
syarat dan rukunnya. Ibnu Rusyd menyatakan, rukun wasiat ada 4, yaitu pemberi
wasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan siqhat.[27] Sedangkan
menurut Muhammad Jawad muqhniyah, rukun wasiat ada 4 yaitu redaksi wasiat,
pemberi wasiat, penerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.[28]
KESIMPULAN
Dari keseluruhan ayat-ayat tentang
wasiat, pengertian wasiat tidak hanya terfokus pada pesan seseorang menjelang
kematiannya terkait tentang harta, melainkan ada beberapa makna lain yaitu
pesan tentang kebaikan, pesan tentang keburukan, pesan tentang ketetapan Allah,
perintah dan larangan Allah, serta pesan tentang harta.
Wasiat harta adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya mati. Wasiat itu sah dalam batas sepertiga
harta atau kurang dari itu. Sebagian ulama menganjurkan agar wasiat tidak lebih
dari sepertiga harta. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta jika orang
yang berwasiat tersebut mempunyai ahli waris, kecuali dengan izin mereka.
Karena apa yang lebih dari sepertiga harta merupakan hak mereka. Sehingga, jika
mereka mengizinkan apa yang lebih tersebut, maka wasiatnya menjadi sah. Izin
para ahli waris tersebut diikrarkan setelah orang yang berwasiat meninggal
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Ali bin Hajar al
‘Asqolani. 2003. Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, tahqiq Samir bin
‘Amir az Zuhairi.
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri. 2010. Ibanatul
Ahkam Syarah Bulughil Marom. Terjemah oleh Nor Hasanuddin H.M Fauzi. Al
Hidayah Publication: Kuala Lumpur.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Fauzan,
Saleh. 2006. Fiqih Sehari-Hari. Depok. Gema Insani.
Ibnu Rusyd.
1989. Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, Juz II, Bairut: Dar
Al-Jiil.
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Al-Husaini. 2005. Kifayatul
Akhyar. Al-Haromain Jaya Indonesia.
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi. 2006. al Jami’liahkamil
Quran. Muassasah Ar Risalah: Beirut.
Muhammad Jawad
Muqhniyah. 2001. Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al Khamsah, terjemahan. Maskur,
Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta.
Sayyid Sabiq. 1987. Fikih Sunnah
Edisi 14. Bandung: Alma’arif.
Syarifuddin,
Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Wahbah Az Zuhaili. 2009. Tafsir al Munir. Darul
Fikr: Damsyik.
Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu.
Jilid 10. Jakarta: Gema Insani.
[1]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema
Insani, 2011, hlm. 154.
[2]
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, Al-Haromain Jaya Indonesia, 2005, hlm. 31.
[3]
Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, hlm. 140.
[4]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Edisi 14, Bandung: Alma’arif, 1987, Hlm. 230.
[5]
Departemen Agama, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Syamil Cipta Media:
Bandung, tt), hal 27
[6]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 93
[7]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10,
Juz 1, hal 484.
[8]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 96
[9]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10,
Juz 1, hal 485
[10]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, Cet 10, Juz 1, hal 485
[11]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 97
[12]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 3, hal 97
[13]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir,Cet. 10, Juz 1, hal 488
[14]
Departemen Agama, Alquran Tajwid dan Terjemah, (Syamil Cipta Media:
Bandung, tt), hal 125
[15]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 8, hal 255
[16]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, (Darul Fikr: Damsyik, 2009), Cet 10,
Juz 4, hal 101
[17]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir,(Cet 10, Juz 4), hal 102.
[18]
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, al Jami’ liahkamil Quran, (Muassasah Ar
Risalah: Beirut, 2006) , Cet 1, juz 8, hal 260.
[19]
Wahbah Az Zuhaili, Tafsir al Munir, Cet 10, Juz 4, hal 108.
[20] Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.283.
[21]
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Depok, Gema Insani, 2006, hlm. 547.
[22]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, Depok: Gema Insani,
2011, hlm.156-157.
[23]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 549.
[24]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 553.
[25]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, hlm. 554.
[26]
Al-‘Alamah bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung:
Harsyimi, hlm. 312.
[27]
Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, Juz II, Bairut:
Dar Al-Jiil, 1989, hlm. 374.
[28]
Muhammad Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al Khamsah,
terjemahan. Maskur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta:
2001, hlm. 504.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar