Tafsir Tahlili QS. At-Taubah Ayat 32-36
Penafsiran Mufrodat :
نور الله :
Agama Islam.
اكل الاموال : Mengambil dan
memanfaatkannya dengan berbagai cara pemanfaatan.
الصد :
Menghalang-halangi
سبيل الله : Jalan
mengenal-Nya dengan benar dan ibadah kepada-Nya yang lurus, yang asasnya dalah
tauhid.
الكنز :
Menyimpan dinar dan dirham didalam peti atau tanah tanpa menafkahkan di jalan
Allah.
يحمى عليها : Api yang
menyala membakarnya hingga sama-sam menjadi api.
الشهور : Bentuk
jamak dari ( شهر), yaitu nama bagi hilal
(bulan sabit) yag kemdian dijadikan nama bagi bulan-bulan.
الحرم : Bentuk
jamak dari haram; berasal dari hurmah yang berarti mengagungkan.
الدين : Syara’
القيم : Yang
benar dan lurus, yang tidak mengandung kebengkokan.
كافة :
Semuanya.
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى
اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai.”
Allah berfirman
menceritakan perihal orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrik dan kaum Ahli
Kitab:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 32)
Yakni petunjuk dan agama yang hak, yang Allah turunkan melalui
Rasulullah Saw. Mereka bermaksud memadamkannya dengan bantahan dan kedustaan
yang mereka buat-buat. Allah mengumpamakan perbuatan mereka itu dengan
seseorang yang berkeinginan memadamkan sinar matahari atau cahaya rembulan dengan
tiupan. Dengan kata lain hal ini jelas tidak mungkin dan tidak ada jalan untuk
itu. Maka demikian pula apa yang disampaikan oleh Allah melalui Rasul-Nya,
pasti akan sempurna dan akan menang. Karena itulah Allah menjawab niat dan kehendak mereka itu melalui
firman-Nya:
وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ
“dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya
walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (At-Taubah [9]: 32)
Ayat ini masih merupakan lanjutan atau penjabaran dari uraian ayat
sebelumnya, yakni mereka Ahl al-Kitâb itu, menjadikan para ahbâr mereka, yakni
ulama orang-orang Yahudi, dan rahib-rahib mereka, yakni pemuka-pemuka agama
Nasrani, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan
Al-Masîh putra Maryam; padahal mereka, baik orang Yahudi maupun Nasrani, tidak
disuruh oleh tuntunan agama dan akal, tidak juga oleh bukti-bukti kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa dalam
zat, sifat, dan perbuatan-Nya; tidak ada tuhan Penguasa alam raya, Pengatur dan
Penciptanya lagi yang berhak disembah selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. Mereka berkehendak melalui kedurhakaan mereka untuk
memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut-mulut, yakni ucapan-ucapan mereka,
padahal Allah enggan, yakni tidak menghendaki, selain menyempurnakan cahaya
agama dan tuntunan-Nya. Walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai
terbitnya cahaya itu, kehendak Allah pasti terlaksana.
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa menjadikan para ahbâr mereka dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah adalah dalam arti mengikuti
ketetapan-ketetapan mereka yang bertentangan dengan ketentuan Allah, seperti
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Ahmad dan
at-Tirmidzi). Dalam konteks ini, Sayyid Quthub menulis bahwa ayat ini bersama
tafsir, Rasulullah saw. itu menunjukkan secara gamblang bahwa ibadah yang benar
adalah mengikuti ajaran agama berdasar nash al-Qur’an dan penjelasan Nabi saw.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menjadikan pemuka agama dan rahib-rahib
mereka tuhan-tuhan dalam arti meyakini ketuhanan mereka atau mempersembahkan
ibadah ritual kepada mereka. Namun, Allah mengecap mereka dalam ayat ini
sebagai mempersekutukan Tuhan dan pada ayat yang lain dengan kekufuran. Itu
tidak lain hanya karena mereka menerima dan mengikuti ketentuan-ketentuan agama
yang ditetapkan sendiri oleh pemuka-pemuka agama itu terlepas dari tuntunan
Allah. Itu saja walau tanpa kepercayaan dan ibadah ritual telah cukup untuk
menamai siapa yang melakukannya sebagai seorang musyrik/ mempersekutukan Allah,
kemusyrikan yang menjadikannya keluar dari bilangan kaum mukminin dan
memasukkannya dalam kelompok orangorang kafir. Demikian Sayyid Quthub.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ
رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ
وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
( 33) “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala
agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.”
Dalam rangka mewujudkan kehendak-Nya, menyempurnakan cahaya-Nya
itulah maka Dia yang telah mengutus Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad saw., dengan
membawa petunjuk berupa penjelasan yang gamblang dan bukti-bukti yang sangat
jelas, membungkam siapa pun yang ragu dan dengan membawa agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya agama itu melalui Rasul-Nya atas segala agama semuanya.
Walaupun orang-orang musyrik yang keras kepala tidak menyukai kehadiran agama
Allah itu apalagi kemenangannya, Allah tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya
tanpa menghiraukan keengganan mereka.
Firman-Nya: (لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّه) untuk dimenangkan-Nya atas segala
agama tidak harus dipahami dalam arti menjadikan agama-Nya adalah agama yang
paling banyak penganutnya karena secara jelas terlihat bahwa penganut agama
yang bertentangan dengan Islam jauh lebih banyak. Allah pun telah menyatakan
bahwa:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ
وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah)” (QS. al-An‘âm [6]: 116).
Yang dimaksud dengan
kemenangan tersebut adalah kemenangan hujjah dan argumentasinya. Dapat juga
kalimat ini dipahami dalam arti akan dimenangkannya agama Islam atas semua dan agama yang berbeda dengannya kelak sebelum
datangnya Kiamat atau kemenangan atas agama-agama yang lain dalam arti
ketetapan Allah swt. menasakhkan/membatalkan berlakunya agama-agama yang lalu
dengan kehadiran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. walaupun agama-agama
itu disampaikan oleh rasul-rasul Allah. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw.
bersabda:
“Seandainya Mûsâ as.
hidup dia tidak dapat kecuali mengikutiku” (HR. Ahmad).
Ayat ini ditutup dengan walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukai, sedang ayat sebelumnya ditutup dengan walaupun orang-orang kafir
tidak menyukai. Gabungan keduanya mengisyaratkan bahwa yang berkeyakinan bahwa
Uzair dan Al-Masîh adalah putra Allah telah menggabung pada dirinya kekufuran
dan kemusyrikan. Demikian Sayyid Muhammad Thanthâwi
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
(
34 ) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.”
As-Saddi mengatakan bahwa al-ahbar adalah menurut istilah orang Yahudi,
sedang ar-ruhban adalah menurut istilah di kalangan orang-orang Nasrani.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ
قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendata mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS. Al-Maidah [5]: 63)
Ar-Ruhban
adalah ahli ibadah di kalangan orang-orang Nasrani, sedangkan ulama mereka
disebut pastur, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا
"Yang demikian itu disebabkan di
antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib." ( QS. Al-Maidah [5]: 82)
Makna yang dimaksud ialah perintah untuk waspada terhadap ulama su'
(ulama yang jahat) dan ahli ibadah yang sesat, seperti apa yang dikatakan oleh
Sufyan ibnu Uyaynah, "Orang yang rusak dari kalangan ulama kami, maka dia
lebih mirip dengan orang Yahudi; dan orang yang rusak dari kalangan ahli ibadah
kami, maka dia lebih mirip dengan orang Nasrani.'"
Allah Swt.
telah berfirman:
لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ
“benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Demikian itu karena mereka (para rahib dan orang-orang alim Yahudi)
menukar agama mereka dengan duniawiah, dan mereka memakan harta para
pengikutnya melalui kedudukan dan kepemimpinan mereka, seperti yang terjadi di
kalangan orang-orang alim Yahudi di masa Jahiliah, mereka mempunyai kehormatan
tersendiri, dan mereka membebankan kepada para pengikutnya untuk membayar
upeti, hadiah, serta pajak untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Setelah Allah mengutus Rasul-Nya, mereka tetap menjalankan
kesesatan, kekufuran, dan keingkaran mereka karena ketamakan mereka untuk
mempertahankan kedudukan tersebut. Tetapi Allah memadamkannya dengan nur
(cahaya) kenabian, mencabutnya dari mereka, memberi ganti mereka dengan
kehinaan dan dipandang remeh, serta mereka kembali dengan membawa murka dari
Allah Swt.
Firman Allah
Swt.:
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Yakni di samping mereka memakan barang yang haram, mereka juga
menghalang-halangi manusia supaya jangan mengikuti jalan yang benar; dan
mencampuradukkan perkara yang hak dengan perkara yang batil, lalu menampakkan
di kalangan orang-orang bodohnya bahwa mereka menyeru kepada kebaikan, padahal
kenyataannya tidaklah seperti apa yang mereka duga. Bahkan mereka adalah para
penyeru kepada neraka, dan kelak di hari kiamat mereka tidak akan mendapat
pertolongan.
Firman Allah
Swt.:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah." (QS. At-Taubah [9]:
34), hingga akhir ayat.
Mereka yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang ketiga
dari pemimpin manusia, karena sesungguhnya manusia itu merupakan beban bagi
para ulama, semua hamba Allah, dan orang-orang yang memiliki harta. Apabila
keadaan mereka rusak, maka keadaan manusia pun rusak pula, seperti apa yang
dikatakan oleh Ibnul Mubarak dalam bait syairnya:
"Tiada yang
merusak agama kecuali para raja, orang-orang alim. dan rahib-rahib yang su'
(jahat)."
Pengertian
al-kanzu menurut riwayat Malik, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar ialah
harta yang tidak ditunaikan zakatnya.
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي
نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا
مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
( 35 ) “ pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".
Setelah menjelaskan sekelumit dari keburukan dan kesesatan kaum
musyrikin dan Ahl al-Kitâb, yang berkaitan dengan sikap mereka terhadap Allah
swt., kini diuraikan keburukan mereka menyangkut kehidupan duniawi, yakni loba
dan tamak serta menumpuk harta benda. Kaum muslimin diajak oleh ayat ini untuk
menghindari keburukan itu dengan berpesan: Hai orangorang yang beriman,
sesungguhnya banyak sekali dari al-ahbâr, yakni orangorang alim Yahudi, dan
rahib-rahib, yakni ulama-ulama Nasrani, yang benar benar memakan, yakni
mengambil dan menggunakan harta orang lain dengan jalan yang batil, antara lain
dengan menerima sogok, memanipulasi ajaran untuk memeroleh keuntungan materi.
Mereka menampakkan diri sebagai agamawan yang dekat kepada Tuhan dan mementingkan
kehidupan akhirat tetapi hakikat mereka tidak demikian, dan di samping itu
mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dengan berbagai uraian
dan penafsiran yang mereka ajarkan.
Harta benda yang mereka peroleh dari yang batil itu dan yang mereka
simpan dan timbun itu kelak akan menyiksa mereka. Dan orang-orang yang
menghimpun dan menyimpan emas dan perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, yakni sesuai ketentuan dan tuntunan-Nya, maka gembirakanlah mereka,
bahwa mereka akan disiksa dengan siksa yang pedih.
Siksa yang pedih itu terjadi pada hari dipanaskan emas dan perak
yang mereka himpun tanpa menafkahkannya itu dalam neraka Jahanam, lalu
disetrika dengannya, yakni dengan emas dan perak yang telah dipanaskan itu,
dahi mereka yang selama ini tampil dengan angkuh dan bangga dengan harta itu
juga membakar lambung mereka yang sering kali kenyang dan dipenuhi oleh aneka
kenikmatan dari harta yang buruk itu dan demikian juga disetrika punggung
mereka yang selama ini membelakangi tuntunan Allah. Semua dibakar sambil
dikatakan kepada mereka oleh para malaikat yang bertugas menyiksa mereka:
Inilah apa, yakni harta benda kamu, yang kamu simpan tanpa menafkahkannya dan
yang kamu khususkan untuk kepentingan diri kamu sendiri dengan melupakan fungsi
sosial harta, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.
Di atas, ketika menguraikan hubungan ayat ini dengan ayat
sebelumnya, dijelaskan bahwa ayat ini masih menguraikan sifat buruk sebagian
Ahl alKitâb. Ada juga ulama yang memahami penggalan pertama ayat ini berbicara
tentang Ahl al-Kitâb, sedang penggalan berikut yang dimulai dengan dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak merupakan kecaman yang ditujukan
kepada sementara kaum muslimin yang kikir dan enggan membayar zakat.
Penggabungan kecaman terhadap mereka dengan kecaman kepada Ahl al-Kitâb
mengisyaratkan betapa lemah iman mereka dan betapa mereka pun wajar
digembirakan dengan siksa yang pedih.
Kata (تَكْنِزُونَ) taknizûn dipahami dalam arti
menghimpun sesuatu dalam satu wadah, baik wadah itu berada dalam tanah maupun
dipermukaan bumi. Ayat ini hanya menyebut dua macam yang dihimpun, yaitu emas
dan perak, karena biasanya kedua hal itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang
umumnya disimpan.
Asy-Sya‘râwi mengemukakan bahwa salah satu aspek kemukjizatan
alQur’an adalah uraian ayat ini di mana Allah swt. menguraikan tentang emas dan
perak, dua jenis barang tambang yang dijadikan Allah sebagai dasar penetapan
nilai uang dan alat tukar dalam perdagangan, kendati ada barang tambang lainnya
yang lebih mahal dan berharga. Tetapi, demikianlah keadaannya hingga kini di
seluruh dunia kedua barang tambang itu masih tetap menjadi dasar bagi
perdagangan dan nilai uang setiap negara.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
( 36 ) “ Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini kembali berbicara tentang kaum musyrikin, setelah
diselingi dengan uraian tentang Ahl al-Kitâb. Uraiannya tentang bulan mempunyai
kaitan yang erat dengan ibadah haji dan juga dengan zakat dari sisi haul, yakni
masa jatuhnya kewajiban membayar zakat. Seperti dikemukakan pada ayat yang
lalu, kecaman terhadap yang mengumpulkan harta terutama sekali ditujukan kepada
mereka yang enggan membayar zakat. Di sisi lain, pada ayat-ayat yang lalu
dibicarakan keburukan kaum musyrikin, di sini kembali keburukan mereka
diuraikan. Kali ini menyangkut bilangan bulan dalam setahun, yang terkadang
mereka tambah atau putar balikkan tempatnya. Di sini, Allah berfirman
menjelaskan bahwa Sesungguhnya batas yang tidak dapat ditambah atau dikurangi
menyangkut bilangan bulan di sisi Allah, yakni menurut perhitungan dan ketetapan-Nya,
adalah dua belas bulan tidak berlebih dan tidak berkurang, tidak juga dapat
diputarbalikkan tempatnya. Bilangan itu berada, dalam ketetapan Allah sejak
dahulu di waktu Dia pertama kali menciptakan langit dan bumi yang atas
keberadaannya waktu pun tercipta. Dua belas bulan itu di antaranya terdapat
empat bulan tertentu, bukan sekadar bilangannya empat dalam setahun. Keempat
yang tertentu itu adalah haram, yakni agung. Itulah ketetapan agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya, yakni dalam keempat bulan
haram itu, dengan berbagai dosa apa pun dan terhadap siapa pun, antara lain
dengan menambah atau mengurangi bilangan bulan.
Kemungkinan larangan di atas
dipahami pula sebagai larangan berperang membela diri dari penganiayaan orang
lain. Karena itu, untuk menampilkan pemahaman itu, ayat ini selanjutnya
menyatakan dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya kapan pun perang itu harus kamu lakukan; dan ketahuilah
bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.
Hampir seluruh masyarakat Arab sebelum Islam mengakui dan
mengagungkan empat bulan dalam setahun. Sedemikian besar pengagungan mereka
sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayah, anak, atau saudaranya pada
salah satu dari empat bulan itu, ia tidak akan mencederai musuhnya kecuali
setelah berlalu bulan haram itu. Tiga bulan di antara keempat bulan haram itu
mereka sepakati, yaitu Dzul Qa‘idah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Adapun yang
keempat, yakni Rajab, ini dianut keharamannya oleh mayoritas suku-suku
masyarakat Arab sedang suku Rabi‘ah menganggap bulan haram yang keempat adalah
Ramadhan. Islam melalui Rasul saw. menegaskan keempat bulan haram sesuai dengan
anutan mayoritas masyarakat Arab itu, walaupun dalam saat yang sama mengakui
bahwa bulan Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, bahkan salah
satu malam Ramadhan nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Firman-Nya: (ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ) itulah agama yang lurus
mengandung makna bahwa bilangan dua belas dalam setahun dan empat di antaranya
adalah bulan-bulan haram adalah bilangan berdasar sistem yang ditetapkan dan
menjadi syariat agama Allah. Melalui pernyataan ini, alQur’an membatalkan
anutan orang-orang Yahudi yang menjadikan perayaan keagamaan mereka berdasar
perhitungan Syamsiyah. Dalam Islam, hari raya keagamaan hanya dua kali, yaitu
Hari Raya Idul Adha yang bertepatan dengan tanggal sepuluh Dzul Hijjah dan Hari
Raya Idul Fitri setelah usai puasa Ramadhan yang jatuh pada 1 Syawwal.
Larangan menganiaya atau melakukan dosa pada keempat bulan itu
bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Tidak! Yang
dimaksud adalah penekanan khusus pada keempat bulan itu karena ia merupakan
bulan bulan ibadah lagi agung di sisi Allah swt. Karena itu pula maka beribadah
pada masa-masa tersebut berdampak positif dan mengundang banyak pahala,
demikian pula sebaliknya berdosa mengakibatkan murka yang besar.
Larangan menganiaya dan berdosa itu tentu termasuk di dalamnya
menganiaya pihak lain. Bahwa ayat ini menggunakan kata (أنْفُسَكُمْ) anfusakum untuk mengisyaratkan kesatuan kemanusiaan,
yakni menganiaya orang lain sama dengan dengan menganiaya diri sendiri.
Ayat ini menetapkan bahwa Allah menjadikan empat bulan dalam
setahun sebagai bulan-bulan haram. Kehormatan dan keagungan yang disandang oleh
waktu dan tempat pada dasarnya serupa dengan kehormatan dan keagungan yang
disandang manusia. Kalau manusia menyandang kehormatan karena banyaknya
kebaikan yang lahir darinya, seperti keimanan yang tulus dan budi pekerti yang
luhur, tempat dan waktu juga mendapat keagungan dan kehormatan karena di tempat
atau waktunya itu dapat lahir kebaikan yang banyak serta ganjaran yang
melimpah. Pada waktu dan tempat itu, Allah membuka peluang besar untuk memeroleh
anugerah-Nya serta melipatgandakan ganjarannya. Nah, demikian juga dengan Allah
swt. yang telah menetapkan empat bulan tertentu sebagai bulan-bulan agung. Ia
tidak boleh diubah oleh siapa pun, tidak boleh juga mengganti tanggal dan
bulannya atau mengundurkan dan memajukan dari waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Dari sinilah kaum musyrikin dikecam karena mengubah-ubahnya sebagaimana terbaca
pada ayat berikut.
Penutup
Masih meneruskan perilaku Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani yang
menyekutukan Allah dengan Uzair dan Isa Al-Masih. Dalam ayat 32-35 ini, Alah
membongkar rahasia kejahatan mereka tehadap agama Allah, termasuk Islam yang
diamanahkan kepada Muhammad saw., perilaku kebanyakan ulama mereka dan balasan
yang akan diberikan Allah di akhirat kelak agar menjadi pelajaran bagi umat
Nabi Muhammad saw. Di antaranya:
1.
Ahlul
Kitab ingin memadamkan cahaya Allah, khususnya Al-Qur’an dengan mulut atau
media massa yang mereka miliki. Namun, Allah menghendaki untuk menyempurnakan
cahaya-Nya, kendati kaum kafir tidak rela. Untuk menyetop keinginan Ahlul Kitab
tersebut, Allah mengutus Muhammad saw. dengan hidayah Al-Qur’an dan sistem
hidup (dīn) yang hak (Islam) karena Dia hendak memenangkan Islam itu di atas
segala agama yang ada, kendati kaum musyrikin itu tidak suka dan membencinya.
2.
Allah
mengingatkan kaum mukminin bahwa sebagian besar ulama dan pastur Ahlul Kitab
itu memakan harta manusia dengan batil. Di antaranya dengan menjual ayat Taurat
dan Injil untuk kepentingan dagang dan materi mereka, padahal Allah tidak
pernah menyuruh Nabi Musa dan tidak pula Nabi Isa untuk melakukan hal demikian.
Fakta sejarah membuktikan, mereka sampai menerbitkan surah pengampunan dosa
kepada umat mereka. Mereka juga menghalang-halangi manusia untuk memahami jalan
Allah yang benar (Islam) dan suka menimbun harta, emas dan perak serta tidak
mau berinfak di jalan Allah.
Mereka kelak akan mendapat azab yang amat menyakitkan. Harta-harta
yang mereka dapatkan dengan jalan batil dan tumpukan harta mereka itu di
akhirat akan Allah jadikan setrika neraka dan akan disetrikakan ke dahi,
lambung dan punggung mereka. Itulah balasan dari harta yang mereka tumpuk di
dunia.
Ayat 36 menjelaskan bahwa jumlah bulan di sisi Allah sejak langit
dan bumi Ia ciptakan adalah 12 bulan. Dari 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan
haram (seperti yang dijelaskan pada ayat 217 surah Al-Baqarah) yang dilarang
berperang. Keempat bulan tersebut ialah Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab. Ini adalah sistem Allah yang lurus. Sebab itu, kaum mukminin tidak boleh
memulai perang di bulan-bulan tersebut. Di luar itu, silahkan perangi kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi Rasul saw. dan kaum mukmin
semuanya. Namun ingat, perang harus dilandasi takwa pada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 1994. Lubaabut Tafsiir
Min Ibni Katsiir, Cetakan 1. Kairo: Mu’assah Daar al-Hilaal.
Al-
Maraghi, Ahmad Musthofa. 1974. Tafsir Al-Maraghi, Juz 5. Mesir: Mustafa
Al-Babi Al-Halabi.
Shihab,
M Quraish. 2000. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
Cetakan 1. Ciputat: Lentera Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar