Sabtu, 06 Januari 2018

Tafsir Tahlili QS. At-Taubah Ayat 32-36



 Tafsir Tahlili QS. At-Taubah Ayat 32-36

Penafsiran Mufrodat :
نور الله               : Agama Islam.
اكل الاموال          : Mengambil dan memanfaatkannya dengan berbagai cara pemanfaatan.
الصد                  : Menghalang-halangi
سبيل الله              : Jalan mengenal-Nya dengan benar dan ibadah kepada-Nya yang lurus, yang asasnya dalah tauhid.
الكنز                  : Menyimpan dinar dan dirham didalam peti atau tanah tanpa menafkahkan di jalan Allah.
يحمى عليها          : Api yang menyala membakarnya hingga sama-sam menjadi api.
الشهور               : Bentuk jamak dari ( شهر), yaitu nama bagi hilal (bulan sabit) yag kemdian dijadikan nama bagi bulan-bulan.
الحرم                 : Bentuk jamak dari haram; berasal dari hurmah yang berarti mengagungkan.
الدين                  : Syara’
القيم                   : Yang benar dan lurus, yang tidak mengandung kebengkokan.
كافة                   : Semuanya.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.”

Allah berfirman menceritakan perihal orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrik dan kaum Ahli Kitab:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 32)
Yakni petunjuk dan agama yang hak, yang Allah turunkan melalui Rasulullah Saw. Mereka bermaksud memadamkannya dengan bantahan dan kedustaan yang mereka buat-buat. Allah mengumpamakan perbuatan mereka itu dengan seseorang yang berkeinginan memadamkan sinar matahari atau cahaya rembulan dengan tiupan. Dengan kata lain hal ini jelas tidak mungkin dan tidak ada jalan untuk itu. Maka demikian pula apa yang disampaikan oleh Allah melalui Rasul-Nya, pasti akan sempurna dan akan menang. Karena itulah Allah  menjawab niat dan kehendak mereka itu melalui firman-Nya:
وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (At-Taubah [9]: 32)
Ayat ini masih merupakan lanjutan atau penjabaran dari uraian ayat sebelumnya, yakni mereka Ahl al-Kitâb itu, menjadikan para ahbâr mereka, yakni ulama orang-orang Yahudi, dan rahib-rahib mereka, yakni pemuka-pemuka agama Nasrani, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al-Masîh putra Maryam; padahal mereka, baik orang Yahudi maupun Nasrani, tidak disuruh oleh tuntunan agama dan akal, tidak juga oleh bukti-bukti  kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya; tidak ada tuhan Penguasa alam raya, Pengatur dan Penciptanya lagi yang berhak disembah selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak melalui kedurhakaan mereka untuk memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut-mulut, yakni ucapan-ucapan mereka, padahal Allah enggan, yakni tidak menghendaki, selain menyempurnakan cahaya agama dan tuntunan-Nya. Walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai terbitnya cahaya itu, kehendak Allah pasti terlaksana.
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa menjadikan para ahbâr mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah adalah dalam arti mengikuti ketetapan-ketetapan mereka yang bertentangan dengan ketentuan Allah, seperti menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi). Dalam konteks ini, Sayyid Quthub menulis bahwa ayat ini bersama tafsir, Rasulullah saw. itu menunjukkan secara gamblang bahwa ibadah yang benar adalah mengikuti ajaran agama berdasar nash al-Qur’an dan penjelasan Nabi saw. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menjadikan pemuka agama dan rahib-rahib mereka tuhan-tuhan dalam arti meyakini ketuhanan mereka atau mempersembahkan ibadah ritual kepada mereka. Namun, Allah mengecap mereka dalam ayat ini sebagai mempersekutukan Tuhan dan pada ayat yang lain dengan kekufuran. Itu tidak lain hanya karena mereka menerima dan mengikuti ketentuan-ketentuan agama yang ditetapkan sendiri oleh pemuka-pemuka agama itu terlepas dari tuntunan Allah. Itu saja walau tanpa kepercayaan dan ibadah ritual telah cukup untuk menamai siapa yang melakukannya sebagai seorang musyrik/ mempersekutukan Allah, kemusyrikan yang menjadikannya keluar dari bilangan kaum mukminin dan memasukkannya dalam kelompok orangorang kafir. Demikian Sayyid Quthub.
 هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
  ( 33) “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.”

Dalam rangka mewujudkan kehendak-Nya, menyempurnakan cahaya-Nya itulah maka Dia yang telah mengutus Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad saw., dengan membawa petunjuk berupa penjelasan yang gamblang dan bukti-bukti yang sangat jelas, membungkam siapa pun yang ragu dan dengan membawa agama yang benar untuk dimenangkan-Nya agama itu melalui Rasul-Nya atas segala agama semuanya. Walaupun orang-orang musyrik yang keras kepala tidak menyukai kehadiran agama Allah itu apalagi kemenangannya, Allah tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya tanpa menghiraukan keengganan mereka.
Firman-Nya: (لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّه) untuk dimenangkan-Nya atas segala agama tidak harus dipahami dalam arti menjadikan agama-Nya adalah agama yang paling banyak penganutnya karena secara jelas terlihat bahwa penganut agama yang bertentangan dengan Islam jauh lebih banyak. Allah pun telah menyatakan bahwa:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. al-An‘âm [6]: 116).
 Yang dimaksud dengan kemenangan tersebut adalah kemenangan hujjah dan argumentasinya. Dapat juga kalimat ini dipahami dalam arti akan dimenangkannya agama Islam atas semua  dan agama yang berbeda dengannya kelak sebelum datangnya Kiamat atau kemenangan atas agama-agama yang lain dalam arti ketetapan Allah swt. menasakhkan/membatalkan berlakunya agama-agama yang lalu dengan kehadiran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. walaupun agama-agama itu disampaikan oleh rasul-rasul Allah. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw. bersabda:
 “Seandainya Mûsâ as. hidup dia tidak dapat kecuali mengikutiku” (HR. Ahmad).
Ayat ini ditutup dengan walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai, sedang ayat sebelumnya ditutup dengan walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Gabungan keduanya mengisyaratkan bahwa yang berkeyakinan bahwa Uzair dan Al-Masîh adalah putra Allah telah menggabung pada dirinya kekufuran dan kemusyrikan. Demikian Sayyid Muhammad Thanthâwi

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
( 34 )  “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”

As-Saddi mengatakan bahwa al-ahbar adalah menurut istilah orang Yahudi, sedang ar-ruhban adalah menurut istilah di kalangan orang-orang Nasrani. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendata mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS. Al-Maidah [5]: 63)
Ar-Ruhban adalah ahli ibadah di kalangan orang-orang Nasrani, sedangkan ulama mereka disebut pastur, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا
"Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib." ( QS. Al-Maidah [5]: 82)
Makna yang dimaksud ialah perintah untuk waspada terhadap ulama su' (ulama yang jahat) dan ahli ibadah yang sesat, seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, "Orang yang rusak dari kalangan ulama kami, maka dia lebih mirip dengan orang Yahudi; dan orang yang rusak dari kalangan ahli ibadah kami, maka dia lebih mirip dengan orang Nasrani.'"
Allah Swt. telah berfirman:
لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Demikian itu karena mereka (para rahib dan orang-orang alim Yahudi) menukar agama mereka dengan duniawiah, dan mereka memakan harta para pengikutnya melalui kedudukan dan kepemimpinan mereka, seperti yang terjadi di kalangan orang-orang alim Yahudi di masa Jahiliah, mereka mempunyai kehormatan tersendiri, dan mereka membebankan kepada para pengikutnya untuk membayar upeti, hadiah, serta pajak untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Setelah Allah mengutus Rasul-Nya, mereka tetap menjalankan kesesatan, kekufuran, dan keingkaran mereka karena ketamakan mereka untuk mempertahankan kedudukan tersebut. Tetapi Allah memadamkan­nya dengan nur (cahaya) kenabian, mencabutnya dari mereka, memberi ganti mereka dengan kehinaan dan dipandang remeh, serta mereka kembali dengan membawa murka dari Allah Swt.
Firman Allah Swt.:
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Yakni di samping mereka memakan barang yang haram, mereka juga menghalang-halangi manusia supaya jangan mengikuti jalan yang benar; dan mencampuradukkan perkara yang hak dengan perkara yang batil, lalu menampakkan di kalangan orang-orang bodohnya bahwa mereka menyeru kepada kebaikan, padahal kenyataannya tidaklah seperti apa yang mereka duga. Bahkan mereka adalah para penyeru kepada neraka, dan kelak di hari kiamat mereka tidak akan mendapat pertolongan.

Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah." (QS. At-Taubah [9]: 34), hingga akhir ayat.
Mereka yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang ketiga dari pemimpin manusia, karena sesungguhnya manusia itu merupakan beban bagi para ulama, semua hamba Allah, dan orang-orang yang memiliki harta. Apabila keadaan mereka rusak, maka keadaan manusia pun rusak pula, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnul Mubarak dalam bait syairnya:
"Tiada yang merusak agama kecuali para raja, orang-orang alim. dan rahib-rahib yang su' (jahat)."
Pengertian al-kanzu menurut riwayat Malik, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar ialah harta yang tidak ditunaikan zakatnya.

 يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
( 35   )  pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".

Setelah menjelaskan sekelumit dari keburukan dan kesesatan kaum musyrikin dan Ahl al-Kitâb, yang berkaitan dengan sikap mereka terhadap Allah swt., kini diuraikan keburukan mereka menyangkut kehidupan duniawi, yakni loba dan tamak serta menumpuk harta benda. Kaum muslimin diajak oleh ayat ini untuk menghindari keburukan itu dengan berpesan: Hai orangorang yang beriman, sesungguhnya banyak sekali dari al-ahbâr, yakni orangorang alim Yahudi, dan rahib-rahib, yakni ulama-ulama Nasrani, yang benar benar memakan, yakni mengambil dan menggunakan harta orang lain dengan jalan yang batil, antara lain dengan menerima sogok, memanipulasi ajaran untuk memeroleh keuntungan materi. Mereka menampakkan diri sebagai agamawan yang dekat kepada Tuhan dan mementingkan kehidupan akhirat tetapi hakikat mereka tidak demikian, dan di samping itu mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dengan berbagai uraian dan penafsiran yang mereka ajarkan.
Harta benda yang mereka peroleh dari yang batil itu dan yang mereka simpan dan timbun itu kelak akan menyiksa mereka. Dan orang-orang yang menghimpun dan menyimpan emas dan perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, yakni sesuai ketentuan dan tuntunan-Nya, maka gembirakanlah mereka, bahwa mereka akan disiksa dengan siksa yang pedih.
Siksa yang pedih itu terjadi pada hari dipanaskan emas dan perak yang mereka himpun tanpa menafkahkannya itu dalam neraka Jahanam, lalu disetrika dengannya, yakni dengan emas dan perak yang telah dipanaskan itu, dahi mereka yang selama ini tampil dengan angkuh dan bangga dengan harta itu juga membakar lambung mereka yang sering kali kenyang dan dipenuhi oleh aneka kenikmatan dari harta yang buruk itu dan demikian juga disetrika punggung mereka yang selama ini membelakangi tuntunan Allah. Semua dibakar sambil dikatakan kepada mereka oleh para malaikat yang bertugas menyiksa mereka: Inilah apa, yakni harta benda kamu, yang kamu simpan tanpa menafkahkannya dan yang kamu khususkan untuk kepentingan diri kamu sendiri dengan melupakan fungsi sosial harta, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.
Di atas, ketika menguraikan hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa ayat ini masih menguraikan sifat buruk sebagian Ahl alKitâb. Ada juga ulama yang memahami penggalan pertama ayat ini berbicara tentang Ahl al-Kitâb, sedang penggalan berikut yang dimulai dengan dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak merupakan kecaman yang ditujukan kepada sementara kaum muslimin yang kikir dan enggan membayar zakat. Penggabungan kecaman terhadap mereka dengan kecaman kepada Ahl al-Kitâb mengisyaratkan betapa lemah iman mereka dan betapa mereka pun wajar digembirakan dengan siksa yang pedih.
Kata (تَكْنِزُونَ) taknizûn dipahami dalam arti menghimpun sesuatu dalam satu wadah, baik wadah itu berada dalam tanah maupun dipermukaan bumi. Ayat ini hanya menyebut dua macam yang dihimpun, yaitu emas dan perak, karena biasanya kedua hal itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang umumnya disimpan.
Asy-Sya‘râwi mengemukakan bahwa salah satu aspek kemukjizatan alQur’an adalah uraian ayat ini di mana Allah swt. menguraikan tentang emas dan perak, dua jenis barang tambang yang dijadikan Allah sebagai dasar penetapan nilai uang dan alat tukar dalam perdagangan, kendati ada barang tambang lainnya yang lebih mahal dan berharga. Tetapi, demikianlah keadaannya hingga kini di seluruh dunia kedua barang tambang itu masih tetap menjadi dasar bagi perdagangan dan nilai uang setiap negara.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
 ( 36 ) “ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini kembali berbicara tentang kaum musyrikin, setelah diselingi dengan uraian tentang Ahl al-Kitâb. Uraiannya tentang bulan mempunyai kaitan yang erat dengan ibadah haji dan juga dengan zakat dari sisi haul, yakni masa jatuhnya kewajiban membayar zakat. Seperti dikemukakan pada ayat yang lalu, kecaman terhadap yang mengumpulkan harta terutama sekali ditujukan kepada mereka yang enggan membayar zakat. Di sisi lain, pada ayat-ayat yang lalu dibicarakan keburukan kaum musyrikin, di sini kembali keburukan mereka diuraikan. Kali ini menyangkut bilangan bulan dalam setahun, yang terkadang mereka tambah atau putar balikkan tempatnya. Di sini, Allah berfirman menjelaskan bahwa Sesungguhnya batas yang tidak dapat ditambah atau dikurangi menyangkut bilangan bulan di sisi Allah, yakni menurut perhitungan dan ketetapan-Nya, adalah dua belas bulan tidak berlebih dan tidak berkurang, tidak juga dapat diputarbalikkan tempatnya. Bilangan itu berada, dalam ketetapan Allah sejak dahulu di waktu Dia pertama kali menciptakan langit dan bumi yang atas keberadaannya waktu pun tercipta. Dua belas bulan itu di antaranya terdapat empat bulan tertentu, bukan sekadar bilangannya empat dalam setahun. Keempat yang tertentu itu adalah haram, yakni agung. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya, yakni dalam keempat bulan haram itu, dengan berbagai dosa apa pun dan terhadap siapa pun, antara lain dengan menambah atau mengurangi bilangan bulan.
Kemungkinan  larangan di atas dipahami pula sebagai larangan berperang membela diri dari penganiayaan orang lain. Karena itu, untuk menampilkan pemahaman itu, ayat ini selanjutnya menyatakan dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya kapan pun perang itu harus kamu lakukan; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.
Hampir seluruh masyarakat Arab sebelum Islam mengakui dan mengagungkan empat bulan dalam setahun. Sedemikian besar pengagungan mereka sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayah, anak, atau saudaranya pada salah satu dari empat bulan itu, ia tidak akan mencederai musuhnya kecuali setelah berlalu bulan haram itu. Tiga bulan di antara keempat bulan haram itu mereka sepakati, yaitu Dzul Qa‘idah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Adapun yang keempat, yakni Rajab, ini dianut keharamannya oleh mayoritas suku-suku masyarakat Arab sedang suku Rabi‘ah menganggap bulan haram yang keempat adalah Ramadhan. Islam melalui Rasul saw. menegaskan keempat bulan haram sesuai dengan anutan mayoritas masyarakat Arab itu, walaupun dalam saat yang sama mengakui bahwa bulan Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, bahkan salah satu malam Ramadhan nilainya lebih baik dari seribu bulan.
 Firman-Nya: (ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ) itulah agama yang lurus mengandung makna bahwa bilangan dua belas dalam setahun dan empat di antaranya adalah bulan-bulan haram adalah bilangan berdasar sistem yang ditetapkan dan menjadi syariat agama Allah. Melalui pernyataan ini, alQur’an membatalkan anutan orang-orang Yahudi yang menjadikan perayaan keagamaan mereka berdasar perhitungan Syamsiyah. Dalam Islam, hari raya keagamaan hanya dua kali, yaitu Hari Raya Idul Adha yang bertepatan dengan tanggal sepuluh Dzul Hijjah dan Hari Raya Idul Fitri setelah usai puasa Ramadhan yang jatuh pada 1 Syawwal.
Larangan menganiaya atau melakukan dosa pada keempat bulan itu bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Tidak! Yang dimaksud adalah penekanan khusus pada keempat bulan itu karena ia merupakan bulan bulan ibadah lagi agung di sisi Allah swt. Karena itu pula maka beribadah pada masa-masa tersebut berdampak positif dan mengundang banyak pahala, demikian pula sebaliknya berdosa mengakibatkan murka yang besar.
Larangan menganiaya dan berdosa itu tentu termasuk di dalamnya menganiaya pihak lain. Bahwa ayat ini menggunakan kata (أنْفُسَكُمْ) anfusakum untuk mengisyaratkan kesatuan kemanusiaan, yakni menganiaya orang lain sama dengan dengan menganiaya diri sendiri.
Ayat ini menetapkan bahwa Allah menjadikan empat bulan dalam setahun sebagai bulan-bulan haram. Kehormatan dan keagungan yang disandang oleh waktu dan tempat pada dasarnya serupa dengan kehormatan dan keagungan yang disandang manusia. Kalau manusia menyandang kehormatan karena banyaknya kebaikan yang lahir darinya, seperti keimanan yang tulus dan budi pekerti yang luhur, tempat dan waktu juga mendapat keagungan dan kehormatan karena di tempat atau waktunya itu dapat lahir kebaikan yang banyak serta ganjaran yang melimpah. Pada waktu dan tempat itu, Allah membuka peluang besar untuk memeroleh anugerah-Nya serta melipatgandakan ganjarannya. Nah, demikian juga dengan Allah swt. yang telah menetapkan empat bulan tertentu sebagai bulan-bulan agung. Ia tidak boleh diubah oleh siapa pun, tidak boleh juga mengganti tanggal dan bulannya atau mengundurkan dan memajukan dari waktu yang telah ditetapkan-Nya. Dari sinilah kaum musyrikin dikecam karena mengubah-ubahnya sebagaimana terbaca pada ayat berikut.
Penutup
Masih meneruskan perilaku Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani yang menyekutukan Allah dengan Uzair dan Isa Al-Masih. Dalam ayat 32-35 ini, Alah membongkar rahasia kejahatan mereka tehadap agama Allah, termasuk Islam yang diamanahkan kepada Muhammad saw., perilaku kebanyakan ulama mereka dan balasan yang akan diberikan Allah di akhirat kelak agar menjadi pelajaran bagi umat Nabi Muhammad saw. Di antaranya:
1.      Ahlul Kitab ingin memadamkan cahaya Allah, khususnya Al-Qur’an dengan mulut atau media massa yang mereka miliki. Namun, Allah menghendaki untuk menyempurnakan cahaya-Nya, kendati kaum kafir tidak rela. Untuk menyetop keinginan Ahlul Kitab tersebut, Allah mengutus Muhammad saw. dengan hidayah Al-Qur’an dan sistem hidup (dīn) yang hak (Islam) karena Dia hendak memenangkan Islam itu di atas segala agama yang ada, kendati kaum musyrikin itu tidak suka dan membencinya.
2.      Allah mengingatkan kaum mukminin bahwa sebagian besar ulama dan pastur Ahlul Kitab itu memakan harta manusia dengan batil. Di antaranya dengan menjual ayat Taurat dan Injil untuk kepentingan dagang dan materi mereka, padahal Allah tidak pernah menyuruh Nabi Musa dan tidak pula Nabi Isa untuk melakukan hal demikian. Fakta sejarah membuktikan, mereka sampai menerbitkan surah pengampunan dosa kepada umat mereka. Mereka juga menghalang-halangi manusia untuk memahami jalan Allah yang benar (Islam) dan suka menimbun harta, emas dan perak serta tidak mau berinfak di jalan Allah.
Mereka kelak akan mendapat azab yang amat menyakitkan. Harta-harta yang mereka dapatkan dengan jalan batil dan tumpukan harta mereka itu di akhirat akan Allah jadikan setrika neraka dan akan disetrikakan ke dahi, lambung dan punggung mereka. Itulah balasan dari harta yang mereka tumpuk di dunia.
Ayat 36 menjelaskan bahwa jumlah bulan di sisi Allah sejak langit dan bumi Ia ciptakan adalah 12 bulan. Dari 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan haram (seperti yang dijelaskan pada ayat 217 surah Al-Baqarah) yang dilarang berperang. Keempat bulan tersebut ialah Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Ini adalah sistem Allah yang lurus. Sebab itu, kaum mukminin tidak boleh memulai perang di bulan-bulan tersebut. Di luar itu, silahkan perangi kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi Rasul saw. dan kaum mukmin semuanya. Namun ingat, perang harus dilandasi takwa pada Allah.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 1994. Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, Cetakan 1. Kairo: Mu’assah Daar al-Hilaal.
Al- Maraghi, Ahmad Musthofa. 1974. Tafsir Al-Maraghi, Juz 5. Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi.
Shihab, M Quraish. 2000. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Cetakan 1. Ciputat: Lentera Hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Islamisasi Makanan

Mukhammad Muti’ur Ridho (Ushuluddin Semestester 5B) Judul Buku       :Indahnya Fiqih Praktis Makanan Penulis              : Abu Ub...